Senin, 27 September 2010

PUSAT KEGIATAN GURU, PROFESIONALITAS GURU, DAN APLIKASINYA DALAM PROSES PEMBELAJARAN

PENDAHULUAN
Berbagai kegiatan dalam proses pendidikan merupakan upaya untuk mencapai tujuan pendidikan nasional seperti yang diamanatkan dalam Undang Undang Republik Indonesia Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Bab II pasal 4. Pendidikan Nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri, serta rasa tanggungjawab kemasyarakatan dan kebangsaan. Sejalan dengan hal itu, Tap MPR No. IV/MPR/1999 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara tahun 1999–2004, Bab IV. E. 2, menjelaskan bahwa tujuan pendidikan adalah untuk meningkatkan kemampuan akademik dan profesional serta meningkatkan jaminan kesejahteraan tenaga kependidikan sehingga tenaga pendidik mampu berfungsi secara optimal terutama dalam peningkatan pendidikan watak dan budi pekerti agar dapat mengembalikan wibawa lembaga dan tenaga kependidikan.
Departemen Pendidikan Nasional, khususnya Direktorat Jenderal Pendidikan, berusaha keras melakukan berbagai usaha untuk meningkatkan mutu personal dan sumber daya manusia (SDM) dalam bidang pengelolaan pendidikan atau tenaga kependidikan. Dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan dasar, khususnya di Sekolah Dasar (SD), usaha kongkrit yang telah dilakukan adalah dengan mengadakan rintisan Sistem Pembinaan Profesional (SPP) guru. Pelaksanaan SPP guru dilakukan dengan membentuk gugus sekolah. Satu gugus sekolah terdiri dari 1 SD inti dan 7–8 SD imbas. Pada gugus sekolah dibentuklah PKG sebagai tempat untuk melakukan kegiatan pelatihan dan pembinaan profesional guru dalam meningkatkan proses pembelajaran.
Peningkatan mutu proses pembelajaran ditandai dengan adanya kualitas interaksi antara guru dan siswa. Untuk mencapai interaksi antara guru dan siswa dalam proses pembelajaran, dilihat dari faktor guru, beberapa hal yang menentukan adalah kemampuan guru dalam menguasai materi, memilih dan menggunakan metode, mengelola kelas, memilih dan menggunakan media, serta melaksanakan penilaian, baik proses maupun hasil pembelajaran.
Kenyataan di lapangan, sistem pembinaan profesional yang baik belum menjamin peningkatan kualitas interaksi antara guru dan siswa dalam proses pembelajaran. Hal ini terjadi karena perbedaan kemampuan guru dalam penguasaan materi, metode, media, pengelolaan kelas, serta penilaian proses dan hasil pembelajaran. Di samping itu, guru mempunyai latar belakang pendidikan dan kemampuan yang berbeda-beda, misalnya ada guru yang berlatar belakang SGB, SPG, KPG, diploma, ada yang sudah lulusan sarjana, bahkan ada yang terampil dan berpengalaman luas dan ada yang masih membutuhkan bimbingan, tuntunan, dan pemantapan yang lebih terarah. Juga ada guru yang mengajar di lokasi daerah kota dan ada yang di lokasi daerah desa. Untuk mengatasi heteroginitas guru itu, diperlukan wahana untuk pembinaan profesional secara terpadu. Salah satunya adalah dengan mendirikan dan mengembangkan PKG.
Untuk melihat sampai sejauh mana pengaruh PKG terhadap kinerja guru dilakukan penelitian di wilayah eks Karisedenan Pekalongan selama enam bulan. Penelitian dilakukan terhadap 60 orang guru SD yang memanfaatkan PKG sebagai tempat untuk pembinaan profesional guru. Sejumlah 20 guru dari Kota Pekalongan mewakili perkotaan, 20 guru dari Kabupaten Pemalang mewakili daerah peralihan, dan 20 guru dari Kabupaten Tegal mewakili pedesaan.
Pengumpulan data mengenai fungsi, manfaat, jenis kegiatan, dan pelaksanaannya dalam PKG, serta tindak lanjut kegiatan PKG dilakukan dengan menyebar angket. Di samping itu, observasi dilakukan untuk mengamati langsung kegiatan di PKG.
Analisis data penelitian yang telah terkumpul dilakukan dengan teknik deskriptif persentase, yakni menghitung persentase jawaban dari isian angket dan hasil observasi. Data yang terkumpul diklasifikasikan menjadi dua kelompok data, yaitu data kuantitatif dan data kualitatif. Data kuantitatif diproses dengan dijumlahkan lalu dibandingkan dengan jumlah yang diharapkan. Sementara data kualitatif, dipisahkan menurut kategori untuk memperoleh kesimpulan. Selanjutnya, persentasi tersebut dikelompokkan dalam lima kategori sebagai berikut.
Kategori I
Baik Sekali
dengan indikator 81% - 100%
Kategori II
Baik
dengan indikator 61% - 80%
Kategori III
Cukup
dengan indikator 41% - 60%
Kategori IV
Kurang
dengan indikator 21% - 40%
Kategori V
Kurang sekali
dengan indikator 1% - 20%
EFEKTIVITAS PKG
Data yang diperoleh menunjukkan bahwa PKG mempunyai efektifitas pemanfaatan yang sangat baik sebagai tempat untuk meningkatkan profesional guru SD dan aplikasinya dalam proses pembelajaran (lihat Tabel 1).
Tabel 1. Fungsi, Manfaat, Jenis Pelaksanaan Kegiatan, serta Tindak Lanjut PKG.
No
Variabel
Data Angket
(%)
Data Observasi (%)
Rata-rata
(%)
1
Fungsi PKG
91,35
88,45
89,90
2
Manfaat PKG
89,75
88,85
88,60
3
Jenis dan Pelaksanaan PKG
89,22
89,80
89,51
4
Tindak Lanjut PKG
95,40
88,80
92,10
Rata-rata
89.90
89,86
89,88
Upaya peningkatan ilmu pengetahuan dan teknologi memerlukan berbagai inovasi pendidikan, khususnya dalam proses pembelajaran, agar hasil pendidikan dapat menjembatani pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat. Salah satu inovasi pendidikan yang dapat dilakukan adalah dengan meningkatkan tugas dan kinerja guru secara profesional.
Untuk meningkatkan tugas dan kinerja guru secara profesional, tidak lepas dari peningkatan kualitas interaksi antara guru, sumber belajar, dan siswa dalam proses pembelajaran. Kualitas interaksi guru, sumber belajar, dan siswa dalam proses pembelajaran ditandai dengan adanya pembelajaran yang memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada siswa untuk aktif, baik secara fisik, emosional, maupun sosial dengan melibatkan sebanyak mungkin indera siswa.
Untuk mendapatkan kondisi belajar siswa secara aktif dan optimal, diperlukan kemampuan dan keterampilan guru dalam merancang, mengelola proses pembelajaran, dan mengevaluasi proses belajar dengan memperhatikan beragam faktor, baik faktor pendukung maupun faktor penghambat. Minimal ada delapan faktor yang dapat mempengaruhi kondisi belajar dalam proses pembelajaran, yaitu: (1) tujuan yang ingin dicapai, (2) minat, kemampuan, dan motivasi siswa, (3) kemampuan profesional guru dan menata kelas, (4) pandangan guru terhadap siswa, (5) jumlah siswa dalam kelas, dan ukuran ruang kelas, (6) bahan kajian dari materi pelajaran, (7) alokasi waktu yang disediakan, dan (8) ketersediaan sarana dan dana (Karyadi, 1991).
Sejalan dengan hal itu, laporan Bank Dunia yang bertajuk Education in Indonesia : From Crisis to Recovery (23 September 1998) menyoroti persoalan guru dan tenaga kependidikan. Pada intinya, guru merupakan sentral dari upaya peningkatan mutu pendidikan, oleh sebab itu setiap upaya untuk membenahi pendidikan akan dan harus melibatkan penataan dan pembenahan terhadap guru (Jalal & Supriadi, 2001). Penataan dan pembenahan terhadap guru merupakan upaya memberda-yakan untuk dapat melaksanakan tugasnya secara profesional. Guru yang ‘berdaya’ adalah guru yang memiliki kemampuan untuk tampil dalam unjuk kerja secara profesional. Guru yang berdaya secara profesional memiliki dedikasi dan komitmen yang kuat terhadap kemajuan pendidikan, khususnya terhadap peserta didik.
Brandt (dalam Supriyadi 1998/1999) menjelaskan bahwa guru merupakan kunci dalam peningkatan mutu pendidikan dan mereka berada di titik sentral dari setiap usaha reformasi yang diarahkan pada perubahan kualitatif. Setiap usaha peningkatan mutu pendidikan seperti perubahan kurikulum, pengembangan metode pembelajaran, penyediaan sarana dan prasarana hanya akan berarti apabila melibatkan guru. Dengan demikian, peranan guru dalam meningkatkan mutu pendidikan, khususnya melalui proses pembelajaran, sangat penting. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa kondisi guru yang profesional masih memprihatinkan. Terutama guru-guru sekolah dasar (SD) di mana sebagian besar belum terdidik dan belum terlatih dengan baik. Di samping itu, mereka dibayar dengan murah. Sesuai hasil penelitian Balitbang-Dikbud, pada tahun 1986 masih banyak guru yang belum memiliki kelayakan mengajar (berpendidikan lebih rendah dari SPG). Guru yang tidak layak ini sangat bervariasi dari propinsi yang terendah (Yogyakarta) sampai kepada propinsi paling tinggi (Kalimantan Tengah) (ESR, dalam Suryadi dan Tilaar, 1993).
Kelayakan mengajar tidak cukup hanya diukur berdasarkan pendidikan formal tetapi harus juga diukur berdasarkan bagaimana kemampuan guru dalam mengajar dari sesi penguasaan materi, menguasai, memilih, dan menggunakan metode, media, serta mengeva-luasi pembelajaran. Sehubungan dengan hal itu, Jiyono (1987) menyimpulkan dari bahwa kemampuan guru SD dalam menguasai bahan pelajaran IPA pada umunya sangat menghawatirkan karena dari sampel guru SD yang diminta ‘menunjukkan’ dan ‘memasang’ suatu alat IPA hanya 70 % yang dapat menunjukkan dan kurang dari 50 % yang mampu memasang alat IPA tersebut. Untuk meningkatkan kemampuan kinerja guru secara profesional dibentuklah PKG sebagai tempat untuk berlatih dan meningkatkan berbagai pengetahuan, keterampilan, dan kecakapan yang diperlukan dalam proses pembelajaran.
PKG pada dasarnya merupakan pusat kegiatan guru sekaligus sebagai bengkel kerja, pusat pertemuan, sarana diskusi dan pertukaran pengalaman serta kiat mengajar belajar. Karena itu PKG memiliki fungsi: (1) sebagai tempat pembahasan dan pemecahan masalah bagi guru yang mengalami kesulitan dalam melaksanakan tugas proses pembelajaran, (2) sebagai wadah kegiatan guru yang tergabung dalam satu gugus yang ingin maju meningkatkan profesinya secara bersama-sama, (3) sebagai tempat penyebaran informasi tentang pembaharuan pendidikan khususnya yang berkaitan dengan usaha peningkatan hasil belajar, (4) sebagai pusat kegiatan praktek pembuatan alat peraga, penggunaan perpustakaan serta perolehan berbagai keterampilan mengajar maupun pengembangan adminstrasi kelas (Tim Penatar Propinsi Jawa Tengah, 1995/1996).
Sejalan dengan hal itu, Ansyar dan Nurtain (1991/1992) menjelaskan bahwa PKG berfungsi sebagai ruangan Pusat Sumber Belajar (PSB) yang menyediakan berbagai informasi tentang pendidikan antara lain, bahkan kajian setiap mata pelajaran, alat-alat peraga pendidikan, contoh-contoh pengorganisasian kelas yang baik, contoh-contoh persiapan satuan pelajaran dan penyusunan ujian yang baik, serta dimanfaatkan sebagai tempat pertemuan para pengawas TK/SD atau kepala sekolah dengan beberapa guru untuk mendiskusikan berbagai gagasan dan kemajuan atau kegagalan dalam pendidikan di SD.
Hadiat (1989) menjelaskan bahwa PSB mempunyai sepuluh fungsi sebagai berikut.
1.Memberikan kesempatan kepada guru mengembangkan program pengajaran dan meningkatkan efektivitas dan efisiensi kegiatan proses pembelajaran.
2. Memberi kesempatan kepada guru melaksanakan program pangajaran secara optimal.
3.Memberi layanan fasilitas kepada guru untuk melaksanakan kegiatan proses pembelajaran secara individual dan kelompok.
4.Memberikan kesempatan kepada guru untuk melaksanakan latihan menggunakan dan memanfaatkan media pendidikan/alat peraga dalam rangka meningkatkan efektivitas proses pembelajaran.
5. Memberikan layanan konsultasi kepada guru dalam memodifikasi dan merancang alat atau fasilitas sesuai dengan program pengajaran yang dirancangnya.
6.Memberikan layanan kepada guru untuk melaksanakan latihan menggunakanteknik-teknik pembelajaran.
7. Memberikan layanan kepada guru disekitarnya dalam hal kegiatan yang berhubungan dengan pembelajaran.
8. Membantu sekolah dalam pemilihan alat-alat pelajaran dan media pendidikan.
9. Menyediakan bahan produksi dan pengajaran dengan pesanan.
10. Menyediakan fasilitas yang memungkinkan terjadinya lintas informasi antar sekolah.
PKG memiliki fungsi dan manfaat yang sangat strategis sebagai sarana atau tempat untuk saling tukar informasi dan pengalaman serta tempat untuk melaksanakan berbagai kegiatan pendidikan guna meningkatkan kemampuan dan keterampilan guru dalam proses pembelajaran yang inovatif dan profesional. Inovatif artinya guru selalu memiliki gagasan, perbuatan, keterampilan, atau sesuatu yang baru dalam konteks sosial tertentu dan pada jangka waktu tertentu untuk menjawab masalah-masalah yang dihadapi terutama yang berkaitan dengan kontek pendidikan. Profesional artinya guru harus memiliki dan menguasai serta terampil untuk menggunakan seperangkat kemampuan dasar guru sebagai berikut .
1. Mengembangkan kepribadian.
2. Menguasai landasan kependidikan.
3. Menguasai bahan pengajaran yang diajarkan.
4. Menyusun program pengajaran.
5. Melaksanakan program pengajaran.
6. Menilai hasil dan proses pembelajaran yang telah dilaksanakan.
7. Menyelenggarakan program bimbingan di sekolah.
8. Menyelenggarakan administrasi sekolah.
9. Berinteraksi dengan teman sejawat dan masyarakat.
10. Menyelenggarakan penelitian sederhana untuk keperluan pendidikan.
Selain sepuluh perangkat kemampuan dasar guru di atas, bahwa seorang guru yang profesional juga harus dapat menerapkan delapan keterampilan mengajar sebagai berikut:
1. Keterampilan bertanya.
2. Keterampilan menjelaskan.
3. Keterampilan mengadakan variasi.
4. Keterampilan memberikan penguatan atau reinforcement.
5. Keterampilan membuka dan menutup pelajaran.
6. Keterampilan mengelola kelas.
7. Keterampilan membimbing diskusi kelompok kecil.
8. Keterampilan mengajar kelompok kecil dan perorangan. (Wiryawan dan Noorhadi. 1994).
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan, dapat disimpulkan bahwa PKG mempunyai efektifitas pemanfaatan yang sangat baik sebagai tempat untuk meningkatkan profesional guru SD dan sekaligus dapat diaplikasi-kan dalam proses pembelajaran.
Saran
PKG mempunyai efektifitas pemanfaatan yang sangat baik sebagai tempat untuk meningkatkan profesionalitas guru SD. Upaya mengopti-malkan pemanfaatan PKG dapat dilakukan melalui beragam cara, tiga diantaranya adalah dengan:
1. Memfasilitasi guru-guru SD untuk menggunakan PKG secara optimal dan disiplin sebagai wahana tukar informasi dan pengalaman dalam berbagai kegiatan pendidikan.
2. Memanfaatkan kepala sekolah untuk memonitor dan mengevaluasi hasil-hasil kegiatan PKG.
3. Memberdayakan Pangawas TK/SD dan Kepala Dinas P&K mem-berikan motivasi dan penguatan terhadap guru-guru dan kepala SD untuk menggunakan PKG sebagai tempat untuk meningkatkan kinerja guru secara profesional.
DAFTAR RUJUKAN
Ansyar, M. & Nurtain, H. (1991/1992). Pengembangan dan inovasi kurikulum. Jakarta: Depdikbud, Dirjen Dikti, Proyek Pembinaan Tenaga Kependidikan.
Depdikbud. Dirjen Dikdasmen. (1996/1997). Pedoman pengelolaan gugus sekolah. Jakarta: Proyek Peningkatan Mutu SD, TK, dan SLB.
Hadiat. (1986). Konsep dan perincian tugas pusat sumber belajar. Jakarta : Depdikbud. Ditjen Dikdasmen.
Jalal, F. & Supriadi, D. (2001). Reformasi pendidikan dalam konteks otonomi daerah.Yogyakarta: Adicita Karya Nusa.
Jiyono. (1987). Studi kemampuan guru IPA Sekolah Dasar. Jakarta: Puslitbang. Depdikbud.
Karyadi, B. (1991). Pengembangan dan inovasi kurikulum. Jakarta: Depdikbud, Ditjen Dikti. Proyek Pembinaan Tenaga Kependidikan.
Supriadi, D. (1998/1999). Mengangkat citra dan martabat guru. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa.
Suryadi, A. & Tilaar, H.A.R. (1993). Analisis kebijakan pendidikan suatu pengantar. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Tap MPR. (1999). Hasil Sidang Umum MPR RI Tahun 1999. No. IV Tentang Garis Garis Besar Haluan Negara. Solo: Pabelan.
Tim Penatar Propinsi Jawa Tengah. (1995/1996). Bahan penataran guru/kepala sekolah SD dan MI. Semarang: Depdikbud, Proyek Peningkatan Pembinaan SD Jawa Tengah.
Wiryawan, S.A. & Noorgadi. (1994). Strategi belajar mengajar. Jakarta: Universitas Terbuka.

PENGARUH UMUR, KEMAMPUAN KOORDINASI KELENTUKAN TUBUH DAN PERSEPSI KINESTIK TERHADAP PENGUASAAN GERAK




Latar belakang penelitian

Sejak dicanangkannya program memasyarakatkan olahraga dan mengolahragakan masyarakat pada tanggal 9 September 1983, olahraga telah menjadi aktivitas yang tidak terpisahkan dalam kehidupan masyarakat Indonesia sehari-hari.

Masyarakat telah menyadari pentingnya tubuh yang sehat, dan untuk menjaga kesehatannya mereka memilih cabang olahraga yang sesuai dengan minatnya.

Dilihat dari segi permasalahan olahraga, Indonesia telah mengalami kemajuan yang sangat menggembirakan. Peminat berbagai cabang olahraga menunjukkan jumlah yang terus meningkat dan hal ini memberi peluang bagi KONI untuk memperoleh bibit-bibit yang pontensial yang akan menjadi olahragawan yang berprestasi apabila mendapat pembinaan yang baik.

Tetapi apabila diperhatikan prestasi olahragawan Indonesia di arena regional dan internasional belum dapat di katakan menggembirakan. Prestasi pada cabang olahraga yang dahulu didominasi oleh Indonesia, akhir-akhir ini mulai terancam dan bahkan ada yang digeser oleh negara lain. Hal tersebut bukan disebabkan oleh tidak adanya kemajuan prestasi olahraga di Indonesia, tetapi juga disebabkan oleh kemajuan yang cepat dari negara lain.

Keadaan tersebut antara lain terlihat dalam cabang olahraga renang. Kemajuan dalam olahraga renang biasanya di tandai oleh dipecahkannya rekor-rekor lama sehingga tercipta rekor-rekor baru.

Apabila dilihat dalam skala nasional, kita tidak dapat mengatakan bahwa prestasi renang di Indonesia tidak ada kemajuan, karena banyak rekor-rekor yang tumbang dan bahkan banyak rekor yang tidak dapat bertahan lama. Tetapi apabila dilihat dalam skala regional, misalkan di wilayah Asia Tenggara, akan terlihat bahwa kemajuan yang telah dicapai Indonesia tidak sepesat negara tetangga, kita. Hal tersebut tampak nyata dengan adanya penurunan perolehan medali cabang olahraga renang dalam Sea Games seperti terlihat pada tabel berikut.

Jumlah Perolehan Medali Kontingen Indonesia di Sea Games
untuk Olahraga Renang

Tahun Medali197719791981198319851987*)1999199119931995
Emas2120195810396-
Perak9271110131910710-
Perunggu58129118101011-

*) di Jakarta

Adanya penurunan dalam perolehan medali ini tentu tidak menggembirakan berbagai pihak, terutama bagi pengurus PRSI. Untuk mengatasi hal tersebut cukup banyak usaha yang dilakukan oleh pihak pengurus PRSI, antara lain meningkatkan mutu pelatih dengan memberikan penataran, mengirim para atlet nasional untuk berlatih keluar negeri, mengadakan kerja sama dengan pihak-pihak yang terkait dan masih banyak usaha yang lain. Namun hasil yang dicapai tetap belum menggembirakan, sehingga dirasakan perlu mencari cara-cara lain agar keadaan tersebut dapat segera teratasi.

Dalam meningkatkan prestasi renang di Indonesia perlu diperhatikan berbagai faktor, antara lain:

  1. Bakat seseorang, hal ini berarti bibit.
  2. Metoda mengajar atau latihan yang lebih baik dan efektif
  3. Kondisi phisik dan struktur tubuh yang baik.
  4. Motivasi yang kuat dari para olahragawan.

Memperhatikan hal-hal tersebut di atas, berarti metoda mengajar dan latihan yang baik tidak menjamin tercapainya prestasi yang baik tanpa di dukung oleh bakat, kesegaran jasmani yang prima dan motivasi yang kuat. Oleh karenanya perlu adanya suatu perangkat tertentu guna pencarian bibit dalam olahraga pada umumnya dan olahraga renang pada khususnya. Dengan demikian. perlu adanya. penelitian yang sungguh-sungguh tentang faktor-faktor yang dapat dijadikan indikator atau sebagai pedoman dalam pemilihan bibit.

Penelitian ini akan dibatasi pada olahraga renang gaya bebas, dengan demikian peneliti hanya akan mencari faktor apa saja yang perlu dipunyai oleh seseorang, supaya dapat mempelajari gerakan renang dengan mudah.

Permasalahan penelitian

Untuk mencapai prestasi maksimal dalam olahraga pada umumnya dan olahraga renang pada khususnya, perlu di tempuh langkah-langkah sebagai berikut:

  1. Mencari bibit unggul.
  2. Menggunakan metoda mengajar gerak renang yang efektif
  3. Menggunakan metoda latihan yang efektif dalam. peningkatan prestasi.

Kenyataan yang ada dilapangan adalah sebagai berikut :

  1. Pemilihan bibit dilakukan dengan cara kira-kira atau intuisi bahkan sering bersifat kebetulan.
  2. Mengajar dilakukan secara tradisional.
  3. Demikian pula latihan (drill) dilakukan secara, tradisional. pula.

Dalam penelitian kali ini peneliti akan membatasi diri pada pemilihan bibit saja, sedangkan untuk hal lain akan di adakan penelitian. dan pembahasan secara terpisah.

Dengan demikian masalah penelitian adalah faktor apa saja yang menjadi prasyarat bagi seseorang untuk menjadi olahragawan dengan penguasaan gaya yang baik pada olahraga renang.

Tujuan penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menemukan suatu perangkat sebagai alat ukur untuk pencarian bibit olahragawan renang.

Landasan teori dan hipotesa

Berbicara tentang pencarian bibit tidak akan terlepas dari hal-hal sebagai berikut:

  1. Bakat
  2. Unsur phisik
  3. Umur
  4. Motivasi

Sesuai dengan masalah yang telah diuraikan di atas dalam pengkajian teori ini hanya akan di ungkapkan 3 variabel sedangkan motivasi dalam penelitian ini tidak di ungkapkan karena orang coba akan diambil dari kelompok pemula yang masih sangat tergantung kepada orang tuanya.

Bakat

Unsur yang dominan di dalam olahraga adalah bakat. Bakat sangat dipengaruhi oleh persepsi kinestetik dan bentuk tubuh yang baik serta tepat untuk cabang olahraga tertentu. Persepsi kinestetik merupakan bakat yang dibawa sejak lahir.

Kemampuan seseorang untuk mempelajari gerak sangat ditentukan oleh persepsi kinestetik tersebut. Yang dimaksud dengan persepsi kinestetik adalah kemampuan seseorang untuk dapat membayangkan dan menguasai gerak tubuh dalam ruang dan waktu.

Seseorang yang mempunyai persepsi kinestetik yang baik akan dapat dengan mudah membayangkan suatu gerak, dan apabila didukung oleh bentuk tubuh yang sesuai, orang tersebut akan mudah mempelajari olahraga.

Karena persepsi kinestetik ini dibawa sejak lahir, maka tidak semua orang dapat menjadi olahragawan yang berprestasi dan enak dipandang walaupun orang tersebut rajin berlatih dan memiliki motivasi yang tinggi.

Dengan demikian faktor kemampuan persepsi kinestetik seseorang sangat menentukan dalam penguasaan rangkaian gerak yang diharapkan. Seseorang yang memiliki kemampuan persepsi kinestetik yang tinggi akan mudah mengekspresikan gerakan yang dia bayangkan ke dalam rangkaian gerak phisik yang nyata, karena, orang tersebut dapat menguasai otot-ototnya.

Unsur phisik

Dalam mempelajari olahraga dibutuhkan kemampuan dasar tertentu, antara lain

  1. Koordinasi
  2. Kelentukan

a. Koordinasi

Berenang bukan merupakan gerakan yang dibutuhkan manusia pada umumnya dalam kehidupannya sehari-hari, lain halnya dengan ikan. Gerakan dasar manusia yang dibutuhkan sehari-hari adalah berjalan, berlari, melompat dan melempar. Gerakan-gerakan tersebut merupakan gerak alami manusia, sehingga mudah dipelajari karena tidak memerlukan koordinasi otot yang rumit. Tetapi untuk belajar berenang seseorang harus sengaja mengatur koordinasi antar otot-ototnya untuk memperoleh gerak maju. Seseorang dikatakan memiliki koordinasi yang baik apabila dapat melakukan gerakan yang membutuhkan banyak otot pada saat yang bersamaan. Tiga unsur yang mendukung koordinasi, yaitu neuromuskuler (impuls, syaraf sampai dengan kontraksi otot), pengaturan kerja otot dan keterampilan (penguasaan pengelolaan. gerak yang harus dilaksanakan).

b. Kelentukan

Disamping koordinasi hampir semua olahraga memerlukan kelentukan tubuh, karena dalam melakukan kegiatan olahraga sering terpaksa melakukan gerakan yang membutuhkan kelentukan tubuh. Seseorang dikatakan memiliki kelentukan tubuh yang baik apabila orang tersebut dapat merenggangkan otot-ototnya semaksimal mungkin tanpa cendera.

Umur

Telah menjadi pendapat umum bahwa umur sangat berpengaruh pada belajar gerak. Makin dewasa umur seseorang anak makin cepat belajar sesuatu atau olahraga tertentu, karena makin dapat berkonsentrasi dan mempunyai kemampuan berfikir lebih baik.

Berdasarkan teori di atas dapat dibuat hipotesa sebagai berikut

  1. Makin baik persepsi kinestetik seseorang anak, makin cepat seseorang dalam mempelajari gerak olahraga pada umumnya atau makin cepat menguasai gaya renang pada khususnya.

  2. Makin baik kemampuan koordinasi gerak seorang anak, makin cepat orang tersebut dalam menguasai gerak. olahraga pada umumnya atau lebih cepat menguasai gaya renang pada khususnya.

  3. Makin baik kelentukan tubuh seorang anak, makin cepat dalam mempelajari gerak olahraga pada umumnya atau lebih cepat menguasai gaya renang pada khususnya.

  4. Makin dewasa seorang anak, makin cepat mempelajari gerak olahraga pada, umumnya atau lebih cepat menguasai gaya renang pada. khususnya.

Metodologi

Dalam penelitian ini metoda yang digunakan adalah eksperimen dengan. desain sebagai berikut :

11tisnowati1.gif (1497 bytes)

Secara operasional penelitian ini ingin mengetahui berapa besar pengaruh bakat (persepsi kinestetik) kemampuan gerak dasar (kelentukan dan koordinasi) dan umur terhadap keamampuan belajar gerak pada seseorang.

Sampel penelitian

Sampel diambil dari anggota, perkumpulan "Kuncup Harapan" yang termasuk dalam kelompok wnur I (di bawah 10 tahun) yang juga, disebut pernula. Sampel diambil dari perkumpulan ini karena perkumpulan ini mempunyai anggota yang terbanyak di Jakarta dan mempunyai tempat berlatih yang memadai. Sampel berjumlah 27 orang.

Pelaksanaan penelitian

Seperti telah diterangkan pada bab terdahulu sebelum perlakuan diberikan kepada orang coba, diberikan Pre-tes (tes I) kepada mereka. Tes tersebut mengacu pada persepsi kinestetik, koordinasi dan kelentukan.

Jenis Tes I meliputi:
1. Tes persepsi kinestetik

Tes persepsi kinestetik terdiri dari
a. Tes persepsi kinestetik kaki ke depan
b. Tes persepsi kinestetik kaki ke samping
c. Tes persepsi kinestetik kaki pada bidang vertikal
d. Tes persepsi kinestetik tangan pada bidang vertikal
e. Tes persepsi kinestetik tangan pada bidang horizontal.

Macam rangkaian tes dapat dibuat sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai karena belum ada tes standar. Testee mencoba 3x dengan mata terbuka, kemudian testee melakukan dengan mata tertutup dan diukur penyimpangannya.

Pelaksanaan Pre-tes untuk persepsi kinestetik adalah sebagai berikut :

  1. Tes persepsi kinestetik melangkah ke depan, dengan tujuan menentukan kecakapan menaksir jarak dengan konsentrasi pada usaha ketepatan langkah ke depan.

  2. Tes persepsi kinestetik kaki pada jarak ke samping
    dengan cara melangkah ke samping. Tujuan tes ini untuk
    mengukur kemampuan menempatkan kaki pada jarak ke samping yang ditentukan.

  3. Tes persepsi kinestetik kaki pada bidang vertikal dengan cara mengangkat kaki pada garis di dinding. Tes ini bertujuan untuk mengukur kemampuan menempatkan kaki padajarak vertikal yang telah ditentukan.

  4. Tes persepsi kinestetik tangan pada bidang horizontal dengan cara meletakkan kedua ujung telunjuk pada garis melintang yang digambar di dinding. Tujuan tes ini mengukur kemampuan kinestetik dalam menentukan posisi tertentu pada bidang lurus horizontal.

  5. Tes persepsi kinestetik tangan pada bidang vertikal dengan cara meletakkan kedua ujung jari telunjuk pada garis tegak lurus yang digambar di dinding. Tujuan tes ini untuk mengukur kernampuan kinestetik untuk menentukan posisi tertentu pada bidang lurus vertikal.

Nilai Akhir

Nilai akhir adalah jumlah nilai kasar dari kelima tes, kemudian ditransformasikan dalam nilai 1 - 100.

2. Tes Koordinasi

Untuk koordinasi digunakan shuttle run dan bertujuan untuk mengukur kelincahan orang coba dalam mengubah arah.

3. Tes Kelentukan

Tes Kelentukan yang digunakan adalah "forward flexion of trunk" atau membungkukkan badan ke depan. Tujuan tes ini adalah untuk mengukur kelentukan tubuh.Testee berdiri di atas bangku pengukur kelentukan, lalu membungkukkan badan dengan tangan lurus ke bawah.

Pencatatan hasil.

Yang diukur adalah tanda bekas jari yang terjauh, hasil yang dicatat adalah angka skala yang dapat dicapai oleh kedua ujung jari tangan dalam 2 kali usaha. Pencatatan dilakukan sampai setengah sentimeter.

Kalau kedua ujung jari tangan orang coba (testee) dapat mencapai skala di bawah permukaan bangku, maka, hasilnya positif (dihitung mulai dari permukaan bangku sampai skala yang dicapai kedua ujung jari tangan).

Sedangkan jika kedua ujung jari tangan hanya dapat mencapai skala di atas bangku, hasilnya negatif, dihitung mulai dari permukaan bangku sampai skala yang dicapai kedua ujung jari.

Setelah selesai tes I orang coba diberi perlakuan, "belajar berenang gaya bebas ". setiap minggu 3x, mulai jam 15.30 s/d 17.30 (2 jam) selama 6 minggu atau 18x pertemuan.

Setelah 6 minggu diadakan tes II, untuk melihat penguasaan gerak renang gaya bebas, tes terdiri dari:

  1. Gerakan tangan
  2. Gerakan kaki
  3. Koordinasi
  4. Cara bernapas
  5. Posisi tubuh.

Dalam menilai penguasaan gaya ini, peneliti melihat pada saat orang coba melaksanakan latihan.

  1. Gerakan lengan
    Di dalam gerakan lengan ada tiga fase
    a. Pull (menarik)
    b. Push (mendorong)
    c. Recovery (istirahat)

  2. Gerakan kaki
    Untuk gerakan kaki ini, sikap badan harus horizontal kemudian gerakan kaki diusahakan dimulai dari pangkal paha sampai pada ujung jari kemudian disertai jambukan dari pergelangan kaki. Usahakan kaki selalu sejajar, pukulannya vertikal dan relax.

  3. Untuk koordinasi yang diperhatikan adalah koordinasi antara gerakan kaki, tangan dan pengambilan nafas. Gerakan ini harus menyatu. Mengambil nafas dilakukan apabila posisi tangan sedang ditarik ke depan jadi tidak bergantian.

  4. Pengambilan nafas dilakukan dengan memutar kepala ke kiri atau ke kanan, sehingga, sebagian mulut berada di atas air. Perubahan sikap kepala tersebut tidak boleh terlalu merubah posisi badan dan dilakukan pada, saat tangan ditarik ke belakang (pull) tepat sebelum tangan diayun ke depan (recovery).

  5. Posisi tubuh.
    Badan dan anggota badan harus relax dan horizontal dengan rambut, bahu, sebagian punggung, sebagian pantat dan tumit berada, di atas air.

Pengumpulan dan analisis data

Dari hasil tes I dan pengamatan tentang penguasaan gaya setelah orang coba mendapat perlakuan selama 6 minggu, diperoleh data seperti terlihat pada lampiran.

Hasil penelitian akan dibagi menjadi 4 tahap, yaitu:
1. Diskripsi Hasil Penelitian
2. Tahap analisis data
3. Pengujian Hipotesis
4. Kesimpulan hasil Penelitian

Diskripsi Hasil Penelitian

Setelah pengolahan data dapat diperoleh hasil sebagai berikut :

Analisis univarian X1, X2, X3, X4, dan Y

Variabel

N

Nilai rata2

Std
Dev

Nilai tertinggi

Nilai terendah

1. Umur (X1)27

48.48

14.91

76

24

2. Koordinasi (X2)27

44.15

8.96

62

29
3. Persepsi
kinestetik (X3)
27

55.89

16.288825
4. Kelentukan (X4)27

47.41

6.816432
5. Penguasaan
gaya (Y)
27

49,71

7.78

70,4

42,2


Tahap Analisis Data

Penelitian ini bertujuan untuk menemukan hubungan antara variabel prediktor umur (X1), koordinasi (X2), persepsi kinestetik (X3) dan kelentukan (X4) dengan variabel kriterion penguasaan gaya (Y).

Secara operasional penelitian ini bermaksud menemukan

  1. Hubungan setiap variabel prediktor (X1, X2, X3, X4) dengan variabel kriterion penguasaan gaya (Y).
  2. Besamya pengaruh variabel prediktor (X1, X2, X3, X4) terhadap variabel kriterion penguasaan gaya (Y).

  3. Kuatnya hubungan antara keempat variabel prediktor (X1, X2, X3, X4) secara bersama-sama atau urut-urutan kuatnya pengaruh/sumbangan antara ke empat variabel prediktor terhadap variabel kriterion (Y).

  1. Korelasi tunggal antara empat variabel prediktor dengan variabel kriterion (Y).

Dalam uji t menunjukkan bahwa semua variabel prediktor mempunyai tingkat korelasi yang signifikan.

Rekapitulasi Tingkat Korelasi dan Uji t antara Y dan
X1, X2, X3, dan X4 pada korelasi tunggal

NoKorelasi

r

t

Keterangan
1 .X1 -Y

0,4039

3,388

Signifikan
2.X2 -Y

0,3831

3,105

signifikan
3.X3 -Y

0,4618

4,290

signifikan
4.X4 -Y

0,3704

2,942

signifikan
T tabel = 1,70

b. Regresi tunggal antara keempat variabel prediktor dengan variabel kriterion (Y).

Analisis ini untuk menguji kembali hasil dari analisis korelasi pada. ada.

  1. Analisis regresi tunggal X1 terhadap Y

Daftar Analisis Variansi untuk Regresi X1 - Y

Sumber
Variansi
dkjkrjkF
Regresi
Residu
1
25
256,96639 1318,27213256,96639 52,734,87317
Jumlah261565,23851309,69639
F(0.5) 1.25 tab = 4,24
F(0.5) 1.25 1 hit= 4,87317

signifikan F = 0,0367-->
(lebih kecil dari 0,05)
jadi F hit> F tabel --- >
signifikan secara linier.

Berdasarkan analisis di halarnan depan menunjukkan bahwa variabel prediktor X1 memberikan sumbangan yang berarti terhadap variabel kriterion Y.

Jadi umur mempunyai pengaruh terhadap penguasaan gaya.

  1. Analisis regresi tunggal X2 terhadap Y

Daftar Analisis regresi Variansi untuk
Regresi X2 - Y

Sumber
Variansi
dkjkRjkF
Regresi
Residu
1
25
231,15828
1344,08024
231,15828
53,76321
4,29956
Jumlah261575,23852284,91149
F(0.5) 1.25 tab = 4,24
F(0.5) 1.25hit = 4,29956,
signifikan F = 0,0486
jadi F hit > F tab ----- >
signifikan secara linier

Berdasarkan analisis diatas menunjukkan bahwa variabel prediktorX2 (koordinasi) memberikan sumbangan yang berarti terhadap variabel kriterian Y (Penguasaan gaya).
Jadi koordinasi mempunyai pengaruh terhadap penguasaan gaya

  1. Analisis regresi tunggal X3 terhadap Y

Daftar Analisis regresi Variansi untuk Regresi X3 - Y

Sumber
Variasi
dkjkRjkF
Regresi
Residu
1
25
335,97522
1239,26330
335,97522
49,57053
6,77772
Jumlah261575,23852385,54575
F (0.5) 1.25 tabel = 4,24
F (0.5) 1.25 hit =
6,77772,signifikan ---- > F=
0,0153
Jadi F hit > F tab----->
signifikan secara linier

Berdasarkan analisis di atas menunjukkan bahwa variabel prediktor X3 (persepsi kinestetik) memberikan sumbangan yang berarti terhadap variabel kriterian (Penguasaan gaya).
Jadi persepsi kinestetik mempunyai pengaruh terhadap penguasaan gaya

  1. Analisis regresi tunggal X4 terhadap Y

Daftar Analisis regresi Variansi untuk Regresi X4 - Y

Sumber
Variansi
dkjkRjkF
Regresi
Residu
1
25
16,10217
1359,13635
216,10217
4,36545
3,97499
Jumlah26

1575,23852

270,46762

F(0,5) 1.25 tabel = 4,24
F(0,5) 1.25hit =
3,97499,signifikan F= 0,0572
(lebih besar dari 0,05)
ladi F hit < F tabel (tidak
signifikan).

Berdasarkan analisis di atas menunjukkan bahwa variabel prediktorX4 (kelentukan) tidak memberikan sumbangan pada penguasaan gaya.
Jadi kelentukan fidak mempunyai pengaruh terhadap penguasaan gaya

Walaupun dalam analisis korelasi telah terbukti bahwa keempat variabel prediktor (X1, X2, X3, X4,)mempunyai pengaruh terhadap Y, namun dalam analisis regresi hanya variabel prediktor X1, X2, X3 yang mempunyai pengaruh terhadap variabel kriterin Y, oleh karenanya perlu analisis lebih lanjut untuk menjawab apakah ada keajegan hubungan dan pengaruh variabel prediktor X1, X2, X3, X4, terhadap Y. Analisis lebih lanjut yang diperlukan adalah analisis regresi ganda.

Daftar Analisis Variansi Regresi GandaXl, X2,X3 dan X4 terhadap Y

Sumber
Variansi

dk

jk

rjkF
Regresi
Residu

4
22

635,18604
940,05247

158,79651
42,72966
3,716
Jumlah

26

1575,23851

201,52617
F(0,5) 4,22 tabel = 2,82
F(0,5) 4,22 hitung = 3,716,
signifikan F = 0,0186 (lebih
kecil dari 0,05)
Jadi F hitung > F tabel
signifikan secara linier

Dari tabel diatas terlihat bahwa keempat variabel prediktor secara bersama-sama memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap variabel kriterin Y.

Apabila kita analisa lebih lanjut maka variabel X1, X2, X3, dan X4, secara bersama memberikan kontribusi 63,50% terhadap Y (penguasaan gaya).

NoVariabelMRFhitungFtabelKeterangan
1.X1 s/d X40,635013,71632,82Signifikan

Kesimpulan dan Saran

Dari hasil analisis pada bab sebelumnya dan pendukung yang ada maka. dari hipotesis yang diajukan dapat di uraikan sebagai berikut :

Keempat variabel prediktor yang diteliti, 3 variabel mempunyai hubungan yang berbanding lurus dengan penguasaan gaya, sedang variabel kelentukan (X4) tidak ada. hubungan maupun pengaruh terhadap penguasaan gaya Y. Dengan demikian hanya 3 hipotesa yang dapat dibuktikan:

a. Makin tinggi usia anak makin mampu menguasai gaya.
b. Makin bagus koordinasi yang dimiliki seorang anak makin baik dalam penguasaan gaya.
c. Makin bagus persepsi kinestetik seorang anak makin sempuma dalam penguasaan gaya.
d. Kelentukan tidak berhubungan dan berpengaruh terhadap penguasaan gaya.

Kesimpulan

Dari keempat variabel prediktor, variabel prediktorX3 (persepsi kinestetik) yang mempunyai hubungan dan pengaruh terbesar terhadap variabel kriterion Y (penguasaan gaya).

Saran

  1. Dari hasil penelitian ini peneliti menyarankan supaya sebelum top organisasi, guru atau pelatih memberikan latihan lebih lanjut, atau harapan lebih jauh terhadap seorang olahragawan, seyogyanya dilakukan tes persepsi kinestetik dan koordinasi terlebih dahulu terhadap calon olahragawan tersebut.
    Karena kegagalan seorang olahragawan akan membawa dampak psikologi pada olahragawan tersebut di samping kerugian waktu dan materi.
    Tes persepsi kinestetiktersebutharusdibuat sesuai dengan gerak dasar yang akan. diperlukan dalam jenis olahraga tertentu, sehingga KONI perlu membuat perangkat tes kinestetik untuk setiap cabang olahraga.

  2. Supaya di adakan penelitian sejenis untuk cabang olahraga yang lain.

Daftar kepustakaan

Annarino, A. A. et all, (1980). Curriculum Theory and Design in Physical Education. St.Luis, London, Toronto. The C.V.Mosby

Bloom, B. S. et all, (1980). Taxonomy of Educational Objecttives, Affective Design, New York: Longunan Inc.

Crassy, B.J. (1968). Movement Behavior and Mottor Learning. Philadelphia, Lea & Febiger.

Carron, V. 1971. Laboratory Experiments in Motor Learning. Englewood Cliffs. New Jersey: Prentice Hall

Cowell, C. C.; Hazelton, H. W. (1961). Curriculum Designs in Physical Education. New Jersey, Prentice - Hall, Inc.

Drowatzky, John. N. (1975). Motor Learning: Principles and Practices Minnesota: Burgess Pub. Co.

Kane, J. E. (1970). . Curriculum Development in Physical Education (London: Crosby Lockwood Staples)

Larson, L. A. (1970). Curriculum Foundations and Standards for Physical Educattion. New Jersey.

Moeloek. (1984). Dasar Fisiologi Kesegaran dasmani dan Latihan Fisik dalam Dangsina Moeloek dan Ariatmo Tjokronegoro (editor). Kesehatan Olahraga. 1984. Jakarta: Penerbit FKUI

Neilson, N.P. (1978). Concepts and Objective in Movement Art & Sciences. New York Vantago Press.

Singer, Robert. N. 1980. Motor Learning and Human Performance (Edisi ke 3). New York: Mae Millan.

Smith. Wendell. I. dan Nicholas. L. Rohman. 1970. Human Leaning. New York: Mc Graw Hill Book Co.

_____, (1977). Hasil Pertandingan Renang SEA Games IX

_____, (1979). Hasil Pertandingan Renang SEA Games X

_____, (198 1). Hasil Pertandingan Renang SEA Games XI

_____, (1983). Laporan Kontingen Indonesia SEA Games XII

_____, (1987). Hasil Pertandingan Renang SEA Games XIV

_____, (1989). Hasil Pertandingan Renang SEA Games XV

_____, (199 1). Hasil Pertandingan Renang SEA Games XVI

_____, (1993). Hasil Pertandingan Renang SEA Games XVII

GURU SEBAGAI PEKERJA PROFESIONAL

Pendahuluan

Waktu berjalan begitu cepat, tahun demi tahun terlampaui tanpa terasa, dan tiba-tiba abad 21 sudah berada di ambang pintu. Mereka yang menyadari cepatnya pergeseran waktu pasti telah menghitung-hitung apa yang telah, sedang, dan akan dilakukannya. Sejalan dengan pemikiran tersebut, dunia pendidikan, khususnya di Indonesia, tentu juga mencoba melakukan refleksi atau renungan tentang apa yang telah dan sedang dilakukan sebagai dasar untuk menyusun strategi dalam menghadapi abad yang akan datang. Salah satu masalah pendidikan yang dianggap belum pernah tuntas dan karenanya pasti akan dihadapi pada abad yang akan datang adalah masalah mutu pendidikan. Ukuran mutu pendidikan memang selalu berubah, sesuai dengan kondisi masyarakat serta perkembangan i1mu pengetahuan dan teknologi. Salah satu aspek yang dianggap sangat berperan dalam menentukan mutu pendidikan adalah guru, karena guru yang secara teratur dan terjadwal berdiri di depan kelas. Oleh karena itu, salah satu usaha yang dilakukan secara terus-menerus untuk meningkatkan mutu pendidikan adalah dengan meningkatkan kemampuan guru.

Mengingat betapa pentingnya peran guru dalam peningkatan mutu pendidikan, pengkajian tentang sosok guru yang diinginkan dalam millenium mendatang menjadi sangat relevan. Setiap orang yang peduli terhadap dunia pendidikan tentu menginginkan agar guru dapat. berbuat yang terbaik bagi anak didiknya. Apa yang harus dikuasai oleh guru agar mampu memenuhi harapan tersebut? Jawaban pertanyaan inilah yang ingin dikaji dalam artikel ini. Pengkajian akan diawali dengan membahas hakikat profesi guru, sosok guru abad 21, berbagai usaha yang telah dilakukan untuk meningkatkan kemampuan profesional guru atau yang sering disebut sebagai usaha pemberdayaan guru, dan diakhiri dengan implikasi semua renungan ini bagi Universitas Terbuka.

Hakikat profesi guru

Pada hakikatnya, pekerjaan guru dianggap sebagai pekerjaan yang mulia, yang sangat berperan dalam pengembangan sumber daya manusia. Sejalan dengan pemikiran tersebut, maka perlu ditekankan bahwa yang layak menjadi guru adalah orang-orang pilihan yang mampu menjadi panutan bagi anak didiknya. Hal ini sesuai dengan hakikat pekerjaan guru sebagai pekerjaan profesional, yang menurut Darling-Hamond & Goodwin (1993) paling tidak mempunyai tiga ciri utama. Ketiga ciri tersebut adalah: (1) penerapan ilmu dalam pelaksanaan pekerjaan didasarkan pada kepentingan individu pada setiap kasus, (2) mempunyai mekanisme internal yang terstruktur, yang mengatur rekrutmen, pelatihan, pemberian lisensi (ijin kerja), dan ukuran standar untuk praktik yang ethis dan memadai; serta (3) mengemban tanggung jawab utama terhadap kebutuhan kliennya.

Di samping ketiga ciri pekerjaan profesional yang telah diungkapkan di atas, perlu dicatat bahwa keprofesionalan seseorang bukan merupakan dikotomi, tetapi merupakan satu rentangan atau kontinum, mulai dari pemula (novice) sampai kepada pakar (expert). Sejalan dengan konsep ini, seorang guru meniti karir dari entry ke mentor sampai ke master teacher (Riel, 1998). Dikaitkan dengan surat keputusan Menpan no. 26/1989, guru dapat meniti karir mulai dari -guru pratama sampai kepada guru utama. Dari segi penyiapan guru, program pendidikan guru, sebagaimana. halnya suatu profesi, memerlukan waktu. yang relatif lama dalam jenjang perguruan tinggi (Tilaar, 1995), yang paling tidak harus sama dengan program penyiapan profesi lain seperti sekolah kedokteran. Program tersebut haruslah memberikan kesempatan kepada calon guru untuk menimba pendidikan umum yang menantang, mendalami pengetahuan bidang studi yang mendasari praktik, menghayati latihan yang efektif untuk memangku jabatan, serta mengembangkan wawasan/filosofi profesinya (Brameld, Th., 1965).

Profesionalisme ditandai oleh dua pilar penyangga utama, yaitu layanan ahli yang aman yang menjamin kemaslahatan klien, serta pengakuan dan penghargaan dari masyarakat (Raka Joni, 1989; Konsorsium Ilmu Pendidikan, 1993). Pilar yang pertama, yaitu layanan ahli, harus mampu ditunjukkan secara meyakinkan dengan berpegang pada kode etik profesi (Tilaar, 1995) sehingga masyarakat merasa aman menerima layanan tersebut. Di pihak lain, pengakuan dan penghargaan masyarakat terhadap layanan ahli yang diberikan akan memperkokoh kehandalan profesi tersebut. Oleh karena itu, terdapat hubungan timbal balik antara kehandalan layanan dengan pengakuan dan penghargaan masyarakat. Makin handal layanan ahli yang diberikan dan makin tinggi rasa aman yang dirasakan penerima layanan, makin tinggi pula penghargaan dan pengakuan dari masyarakat. Selanjutnya patut pula dicatat bahwa layanan ahli yang diberikan haruslah didasarkan pada bidang ilmu yang diakui sebagai landasan profesi tersebut karena profesionalisme mulai dengan preposisi: knowledge must inform practice (Darling-Harmmond & Goodwin, 1993).

Dengan mengacu kepada ciri-ciri pekerjaan profesional yang digambarkan di atas, maka dapat dipahami bahwa. seorang guru yang profesional bukanlah seorang tehnisi atau seorang tukang yang hanya menunggu perintah dari mandorya. Seorang guru yang profesional seyogyanya mampu mengambil keputusan serta membuat rencana yang disesuaikan dengan kondisi siswa, situasi, wawasannya sendiri, nilai, serta komitmennya (Zumwalt, 1989). Dengan perkataan lain, seorang guru yang profesional harus mampu mengambil keputusan situasional dan transaksional (Raka. Joni, 1989). Keputusan situasional diambil oleh guru ketika merencanakan pembelajaran, sedangkan keputusan transaksional diambil guru ketika melaksanakan pembelajaran. Dengan demikian, seorang guru yang profesional tidak akan pernah menganggap bahwa rencana pembelajaran yang disusunnya dapat digunakan seumur hidup. Ia selalu harus mampu membaca situasi (seperti karakteristik siswa, ruang, waktu, sarana/fasilitas, perkembangan dalam dunia pembelajaran) dan kemudian menyesuaikan rencananya dengan situasi yang akan dihadapi. Ia harus mampu memutuskan sumber dan media belajar apa yang akan digunakan, demikian pula strategi pembelajaran serta evaluasi yang akan dia terapkan. Ketika pembelajaran atau transaksi sedang berlangsung, kembali ia harus mampu membaca situasi dan melakukan penyesuaian-penyesuaian yang diperlukan. Selanjutnya, setelah pembelajaran berlangsung, guru harus mampu melakukan refleksi/analisis terhadap apa yang telah terjadi di dalam kelas dan apa yang telah dicapai oleh siswa. Akhirnya, guru harus mampu memanfaatkan hasil refleksi/analisis ini untuk memperbaiki perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran berikutnya.

Dari segi pengakuan serta penghargaan masyarakat dan pemerintah, keputusan Menpan No. 26/1989 tentang angka kredit bagi jabatan guru merupakan pengukuhan jabatan guru sebagai jabatan fungsional/profesional, yang mempunyai tugas, wewenang, dan tanggung jawab melaksanakan pendidikan di sekolah. Bidang pekerjaan guru dibagi menjadi empat kelompok, yakni pendidikan, proses belajar-mengajar atau bimbingan dan penyuluhan, pengembangan profesi, dan penunjang proses belajar mengajar atau bimbingan dan penyuluhan.

Sosok guru pada abad 21

Bagaimana sosok guru pada abad 21? Secara sederhana pertanyaan ini mungkin akan dijawab dengan enteng: guru pada abad 21 sama saja dengan guru sekarang. Sepintas lalu, jawaban ini ada benarnya karena perbedaan pada tuntutan kemampuan guru pada umumnya sukar ditandai secara jelas, lebih-lebih jika yang dimaksud abad 21 adalah tahun 2000 atau 2001. Namun, perlu diingat satu abad adalah 100 tahun, satu kurun waktu yang cukup panjang. Oleh karena itu, perlu dipikirkan/direnungkan dari sekarang kira-kira bagaimana sosok atau profil guru abad 21. Renungan ini tentu harus didasarkan pada ciri-ciri abad 21 atau kecenderungan yang perlu diantisipasi dari sekarang.

Secara garis besar, abad 21 ditandai oleh arus globalisasi, yang membuat segala sesuatu akan menjadi mendunia. Perkembangan teknologi informasi yang begitu pesat menyebabkan setiap orang yang mempunyai akses kepada infonnasi akan mengetahui apa yang sedang terjadi di dunia lain. Sejalan dengan itu, kemajuan teknologi yang bergemuruh akan menyebabkan sebagian besar tenaga manusia digantikan oleh mesin, yang menurut Toffler (1992) akan lebih banyak melakukan tugas rutin; sementara manusia akan lebih banyak bergelut dengan tugas-tugas yang bersifat intelektual dan kreatif. Perdagangan bebas yang menandai abad 21 membuat persaingan menjadi semakin ketat. Berbarengan dengan itu, berbagai usaha yang mengarah kepada penghancuran nilai-nilai/harkat manusia seperti penggunaan obat-obat terlarang, penyelundupan narkotika dan sejenisnya, kenakalan remaja, serta pencemaran lingkungan juga diperkirakan akan meningkat, seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk. Dengan demikian, perubahan besar-besaran akan dan selalu terjadi, sehingga Toffler (1992) menyebut masa depan ,tersebut sebagai satu kejutan (future shock) terutama bagi orang orang yang sukar berubah. Secara singkat, abad mendatang akan ditandai oleh perubahan secara terus menerus yang terjadi di segala bidang. Untuk menghadapi tantangan seperti ini diperlukan manusia yang mampu menilai situasi secara kritis serta mampu mencari jalan sendiri dalam lingkungan baru, di samping mampu menemukan hubungan baru yang mungkin terjadi dalam kenyataan yang sedang berubah dengan cepat (Toffler, 1992).

Berkaitan dengan ciri-ciri/tantangan di atas, dunia pendidikan juga harus mampu melakukan berbagai perubahan. Orientasi pendidikan Tidak lagi hanya ke masa lampau atau masa kini, tetapi lebih terfokus ke masa depan karena individu masa depan akan menghadapi perubahan yang lebih cepat lagi daripada sekarang. Oleh karena itu, sasaran utama pendidikan haruslah diletakkan pada peningkatan cope-ability (kemampuan menanggulangi) setiap individu yang dibarengi dengan peningkatan kecepatan dan efisiensi dalam adaptasinya terhadap perubahan yang terjadi secara terus menerus sebagaimana yang diisyaratkan oleh Toffler (1992). Artinya, agar mampu bertahan hidup (survive), setiap orang harus secara cepat dapat menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi. Agar peningkatan kemampuan ini dapat berlangsung, setiap individu juga harus mampu membuat asumsi, prediksi, atau ramalan tentang perubahan yang akan terjadi. Tentu saja kemampuan membuat asumsi, prediksi, atau ramalan tersebut didasarkan pada. pengalaman/pengetahuan masa lalu dan masa kini. Oleh karena itu, semestinya orientasi baru ini tidak mengabaikan masa lalu dan masa sekarang; sebaliknya, kedua masa tersebut merupakan acuan yang berharga dalam mempersiapkan individu masa depan.

Sehubungan dengan perubahan orientasi pendidikan yang berfokus ke masa depan, struktur persekolahan juga perlu dipertanyakan kembali. Apakah setiap orang harus menempuh pendidikan formal lewat sekolah ataukah lebih bijaksana jika pendidikan sekolah hanya diperuntukkan bagi mereka yang memerlukan saja, khususnya untuk bidang-bidang yang tidak dapat dipelajari sendiri? Jika pun sekolah masih tetap dianggap sebagai pusat pendidikan, berbagai perubahan juga harus dilakukan. Siswa harus diberi kesempatan untuk berperan lebih aktif, baik dalam bentuk simulasi, eksplorasi, atau kesempatan untuk menghayati/belajar dari kehidupan nyata, sehingga terbuka peluang baginya untuk berlatih membuat prediksi dan menanggulangi satu situasi. Metode ceramah harus, dikurangi, diimbangi dengan metode lain, yang memberi kesempatan kepada peserta didik untuk berperan lebih aktif, seperti seminar dan pengahayatan pengalaman yang direncanakan. Hal ini sesuai dengan paradigma baru dunia pendidikan yang menekankan pada pendekatan yang berorientasi pada siswa (student oriented approach), bukan pendekatan yang berfokus pada guru (Brodjonegoro, 1999). Dengan demikian, fokus kegiatan pembelajaran adalah siswa, bukan guru.

Untuk mengantisipasi kecenderungan dan orientasi pendidikan seperti diuraikan di atas, seorang guru seyogyanya memenuhi berbagai persyaratan, dengan asumsi bahwa pendidikan pada abad 21 masih akan berlangsung di sekolah. Hal ini perlu ditegaskan karena bertitik tolak dari kecenderungan masa depan yang diuraikan oleh Toffler, sekolah sebagai tempat pendidikan masih dipertanyakan. Dengan demikian, dalam renungan ini, uraian tentang profil guru masa depan masih dilandasi oleh asumsi bahwa sekolah masih merupakan salah satu pusat berlangsungnya pendidikan. Sehubungan dengan itu, sosok atau profil guru abad 21 kurang lebih dapat digambarkan sebagai berkut.

Secara umum, sebagaimana diungkapkan oleh Tilaar (1995), pada masa Pembangunan Jangka Panjang (PJP) II, masyarakat tidak dapat lagi menerima guru yang tidak profesional. Hal ini sesuai dengan rekomendasi Unesco, yang ditekankan pada tiga tuntutan yaitu: (1) guru harus dianggap sebagai pekerja profesional yang memberi layanan kepada masyarakat, (2) guru dipersyaratkan menguasai ilmu dan keterampilan spesialis, serta (3) ilmu dan keterampilan tersebut diperoleh dari pendidikan yang mendalam dan berkelanjutan (Tilaar, 1995). Bertitik tolak dari rekomendasi tersebut serta profil guru pada saat ini, seyogyanya guru pada abad 21 benar-benar merupakan guru yang profesional, agar mampu menghadapi tantangan abad 21. Untuk itu, kompetensi kepribadian, kompetensi profesional, dan kompetensi sosial seorang guru perlu dikembangkan sehingga mampu mendidik siswa yang mempunyai kemampuan memprediksi dan menanggulangi. Kompetensi kepribadian menuntut guru agar mampu menjadi panutan bagi siswa dan masyarakat. Manusia yang takwa, berbudi luhur, bersikap kritis, menjunjung tinggi kode etik guru, mampu bekerja sama, menghormati sesama, mengembangkan diri, dan sejumlah ciri-ciri kepribadian lain perlu dimodelkan oleh guru bagi para siswanya. Kemampuan profesional yang terutama berlandaskan pada penguasaan bahan ajaran, pemahaman karakteristik peserta didik, landasan kependidikan, serta belajar dan pembelajaran, ditunjukkan guru ketika merencanakan dan melaksanakan pembelajaran. Dalam melaksanakan pembelajaran, guru dituntut agar mampu menciptakan suasana belajar yang nyaman dan menyenangkan karena suasana seperti itu merupakan sugesti positif yang mampu membuat "pemercepatan belajar" atau yang disebut sebagai accelerated learning, yang didefinisikan sebagai hal yang memungkinkan siswa belajar dengan kecepatan yang mengesankan, dengan upaya yang normal, serta dibarengi kegembiraan (De Porter & Hernacki, 1999, hal. 14). Suasana yang nyaman dan menyenangkan merupakan faktor penting yang merangsang fungsi otak yang paling efektif Oleh karena. itu, jika siswa merasa nyaman dan senang dalam belajar, mereka akan terpacu untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis seperti menganalis atau menilai situasi dan mengembangkan berbagai prediksi atau asumsi berdasarkan hasil analisis/penilaian tersebut.Akhirnya, kompetensi sosial harus mampu diperagakan oleh guru ketika melakukan interaksi profesional atau interaksi personal dengan teman sejawat dan masyarakat Ciri-ciri keprofesionalan dalam memberikan layanan ahli yang berpangkal pada kemampuan mengambil keputusan perlu dipertajam. Secara singkat, guru masa depan diharapkan mampu membuat suasana belajar menjadi suasana yang nyaman dan menyenangkan serta mampu memodelkan apa yang diharapkan dari para siswanya, seperti ia sendiri harus mampu menilai situasi secara kritis, memprediksi apa yang akan terjadi, dan kemudian mencoba menanggulangi situasi yang dihadapi.

Di sisi lain, tugas-tugas guru yang bersifat profesional harus ditunjang oleh sistem penghargaan yang membetahkan, sehingga guru mampu memfokuskan diri pada peningkatan kualitas layanan yang diberikan. Hal ini sejalan dengan kriteria pekerjaan profesional yang menyebutkan bahwa guru berhak mendapat imbalan yang layak. Imbalan yang layak bukan hanya dalam bentuk materi, tetapi juga dalam bentuk penghargaan/rasa segan/hormat masyarakat terhadap guru. Jika penghargaan/imbalan ini masih terabaikan, citra guru profesional tidak akan muncul, yang ada adalah guru siluman- pahlawan tanpa tanda jasa, yang tidak diperhitungkan oleh masyarakat.

Berbagai usaha untuk memberdayakan guru

Untuk mewujudkan profil guru yang diinginkan pada abad mendatang, berbagai usaha perlu dilakukan. Menyimak hasil analisis profil guru pada saat ini (Wardani, 1998), tampaknya ciri-ciri keprofesionalan guru masih belum banyak terwujud. Berbagai hasil penelitian (Jiyono, 1992; Nielson, D., dkk, 1996; Nasoetion, 1996; &Wardani, 1996) menunjukkan bahwa kinerja guru masih belum sesuai dengan harapan, baik dalam hal penguasaan materi ajaran maupun dalam pengelolaan pembelajaran. Proses belajar mengajar yang masih banyak didominasi guru, kurangnya kemampuan dan kesadaran guru untuk memfasilitasi dan menumbuhkan dampak pengiring, menyebabkan siswa lebih banyak bergulat dengan bahan hapalan daripada mempertanyakan, memprediksi, atau memecahkan masalah. Citra guru yang masih rendah menyebabkan pekerjaan sebagai guru bukan merupakan pilihan utama, sehingga yang ingin menjadi guru, sebagian besar bukan putra terbaik bangsa. Kondisi ini didukung oleh sangat rendahnya kesejahteraan guru, sehingga guru tidak mampu memfokuskan perhatian pada tugas-tugasnya karena harus mencari pekerjaan sambilan untuk menghidupi keluarga.

Bertitik tolak dari kondisi tersebut, usaha untuk memberdayakan guru haruslah mencakup dua aspek, yaitu aspek yang terkait dengan kemampuan dan aspek yang terkait dengan kesejahteraan guru. Kedua aspek ini harus mendapat penanganan yang proporsional dan memadai, sebab kalau terjadi ketimpangan, profil guru yang dikehendaki juga tidak mungkin terwujud. Berbagai upaya telah dilakukan untuk meningkatkan kemampuan profesional guru, seperti adanya Pemantapan Kerja Guru (PKG) yang kemudian menjadi Musyawarah Guru Bidang Studi (MGBS), penataran/pelatihan berkala, serta pemberian kesempatan untuk melanjutkan studi, (misalnya yang terjadi secara besar-besaran untuk meningkatkan kualifikasi guru SD dan guru SUP).

Demikian pula upaya untuk meningkatkan kesejahteraan guru telah pernah dilakukan meskipun secara terbatas, misalnya dengan pemberian tunjangan fugsional guru serta pemberian insentif bagi guru daerah terpencil. Namun, tampaknya usaha tersebut belum menunjukkan hasil yang memadai karena pengamatan lapangan serta hasil-hasil penelitian masih menunjukkan adanya kinerja guru yang di bawah standar dan mutu lulusan SD, SLTP, SLTA yang masih dipertanyakan. Oleh karena itu, haruslah dicari upaya yang mampu mengatasi kelemnahan yang terjadi. Beberapa upaya yang mungkin dilakukan adalah sebagai berikut.

Pertama, memperbaiki sistem rekrutmen calon guru, sehingga dapat dijaring calon guru yang memang benar-benar berminat dan mampu menjadi guru. Dalam hal ini, ujian masuk perguruan tinggi negeri (UMPTN) khusus untuk calon mahasiswa yang ingin menjadi guru harus disertai dengan tes minat dan penampilan. Di samping itu, asal daerah calon guru juga harus dijadikan salah satu pertimbangan dalam penerimaan mahasiswa, sehingga daerah-daerah yang memang memerlukan tambahan guru mendapat prioritas dalam penerimaan calon mahasiswa.

Kedua, meningkatkan kemampuan dan minat membaca guru dan calon guru, dapat dilakukan dengan memberi tugas-tugas membaca yang disertai tagihan yang jelas bagi calon guru dan para guru yang sedang mengikuti pelatihan. Di samping itu, penerbitan jurnal, pengembangan perpustakaan sekolah dengan buku-buku yang mutakhir dan menarik, serta perlombaan menulis bagi para guru perlu digalakkan sehingga guru tertarik untuk membaca. Pengumpulan buku bekas dari para dermawan dapat dilakukan untuk mengisi perpustakaan. Jika minat membaca guru sudah meningkat, diharapkan kemampuannya juga akan meningkat, sehingga berdampak positif bagi penguasaan materi ajaran.

Ketiga, membudayakan diskusi ilmiah bagi para guru dan calon guru. Para calon guru secara berkala diwajibkan untuk melaksanakan diskusi ilmiah/seminar topik-topik yang menarik perhatiannya, terutarna topik-topik yang paling mutakhir yang berkaitan dengan mata kuliah tertentu. Para guru dapat didorong metakukan diskusi ilmiah secara berkala pula, misalnya setiap bulan atau menjelang peristiwa tertentu seperti Hari Pendidikan Nasional, Hari Kemerdekaan, Sumpah Pemuda, dan Hari Anak-anak. Topik diskusi dapat dikaitkan dengan peristiwa yang sedang berlangsung atau topik-topik yang berkaitan dengan pembelajaran/masalah yang dihadapi guru dalam melaksanakan tugasnya. Dalam kaitan ini, lomba menulis artikel dapat mendukung berlangsungnya diskusi ilmiah, dengan cara meminta pemenang menyajikan artikelnya. Upaya ini akan mempunyai nilai tambah karena, wawasan guru akan berkembang, di samping mereka juga akan mendapat kredit untuk kenaikan jabatan.

Keempat, menyajikan model, baik bagi calon guru maupun bagi para guru. Model merupakan media yang sangat efektif untuk menanamkan. keterampilan serta nilai dan sikap, baik bagi anak-anak maupun bagi orang dewasa. De Porter & Hernacki (1999) juga menyebutkan bahwa model memegang peran penting dalam. pembentukan perilaku dan kepribadian seseorang. Mengelola pembelajaran menuntut berbagai keterampilan yang harus ditampilkan guru ketika mengajar. Namun, sering sekali terjadi guru tidak menguasai keterampilan tersebut karena ketika berada, di bangku pendidikan guru, mereka tidak mendapat latihan yang memadai, di samping mungkin tidak pernah menyaksikan pemodelan keterampilan tersebut. Oleh karena itu, berbagai strategi mengajar yang mampu membuat siswa belajar aktif dan menumbuhkan dampak pengiring di samping dampak instruksional perlu dimodelkan oleh dosen, tutor, dan pelatih/penatar. Selain itu, hubungan kolegial yang akrab, sehat dan saling menghargai akan dapat dikembangkan oleh guru, jika dosen, tutor, dan penatar mampu memodelkannya. Penyajian model hendaknya, disertai dengan latihan yang memadai karena penguasaan keterampilan hanya dapat dilakukan melalui latihan.

Kelima, mendorong guru untuk melakukan Penelitian Tindakan Kelas (Action Research), yang sudah mulai digalakkan oleh lembaga pendidikan guru. Penelitian Tindakan Kelas (PTK) tampaknya merupakan sesuatu yang menjanjikan dalam usaha pemberdayaan guru karena merupakan "self reflective inquiry" (Stephen Kemmis, dalam. Hopkins, D., 1993 dan McNiff, J., 1992) yang dilakukan guru di dalam kelas untuk memperbaiki praktik pembelajaran serta meningkatkan pemahaman guru terhadap praktik tersebut. Berbeda dengan praktik pembelajaran sehari-hari yang dilakukan guru, PTK mendorong guru mengenal/menyadari masalah yang dihadapinya, kemudian merencanakan upaya untuk mengatasinya. Upaya tersebut dilakukan secara eksplisit dan sistematis yang mengacu kepada kaidah-kaidah penelitian (Raka Joni, 1998). Inilah yang mencirikan PTK sebagai "systematic inquiry made public". Jika PTK diarahkan dan dikerjakan dengan benar, ia akan mampu mendorong guru terlibat secara aktif dalam pembelajaran yang dikelolanya, di samping mampu mendorong guru menempatkan diri sebagai peneliti di kelasnya sendiri.

Keenam, membenahi program penataran/pelatihan guru dengan cara memfokuskan pada kebutuhan guru serta menghindari ketumpangtindihan. Untuk membuat guru mampu menghadapi tantangan abad 21, penataran/pelatihan guru harus difokuskan pada kebutuhan guru, yang berdasarkan hasil-hasil penelitian dan pengamatan informal berkisar pada dua aspek yaitu penguasaan materi ajaran dan mengelola interaksi di dalam kelas. Di samping itu, program penataran/pelatihan juga harus memberi kesempatan kepada guru untuk berlatih memecahkan masalah/menanggulangi situasi, yang semuanya ini dapat dikaitkan dengan mengelola interaksi di dalam kelas. Dalam hal ini, Penelitian Tindakan Kelas (PTK) dapat dilatihkan sebagai wahana untuk mengenal masalah serta merencanakan pemecahannya melalui berbagai langkah. Agar penataran guru tidak tumpang tindih, berbagai instansi yang menyelenggarakan penataran perlu melakukan koordinasi sehingga kemubaziran dari segi dana dan daya dapat dihindari.

Dari segi kesejahteraan guru, yang dalam hal ini sangat berkaitan erat dengan sistem imbalan yang membetahkan, ada beberapa hal yang dapat diusahakan. Pertama, hentikan segala pungutan liar yang sering dikenakan kepada guru, sehingga gaji guru yang sudah kecil tidak bertambah kecil lagi. Kedua, sudah saatnya Departemen Pendidikan dan Kebudayaan meninjau ulang tunjangan fungsional bagi guru, meskipun keadaan ekonomi negara sedang dalam krisis. Kenaikan tunjangan fungsional diharapkan dapat memacu guru untuk memfokuskan diri pada tugas-tugasnya, sehingga layanan yang diberikannya menjadi semakin handal dan aman. Ketiga, memberi penghargaan kepada guru yang berprestasi, yang didasarkan pada penilaian masyarakat dan siswa, yang dapat dilakukan di tingkat kabupaten dan propinsi secara. berkala. Penghargaan ini diharapkan dapat meningkatkan citra guru di mata masyarakat. Keempat, untuk meningkatkan citra, tampaknya HARI GURU yang selama ini dirayakan setiap tanggal 25 November, perlu diberi makna yang lebih khusus, agar gemanya dapat menyebar ke seluruh lapisan masyarakat. Kegiatan yang digelar akan lebih bermakna jika diisi dengan hal-hal yang mampu meningkatkan citra guru, seperti memamerkan karya-karya siswa yang berprestasi dalam Lomba Karya Ilmiah Remaja, memamerkan hasil karya guru yang berprestasi, mengadakan gelar wicara antar guru di televisi, atau menyelenggarakan bakti sosial yang berkaitan dengan tugas guru. Dengan usaha-usaha tersebut diharapkan pilar kedua profesionalisme, yaitu pengakuan dan penghargaan dari masyarakat, dapat terwujud.

Implikasi bagi Universitas Terbuka

Sehubungan dengan usaha-usaha di atas, apa yang harus dilakukan oleh Universitas Terbuka (UT) sebagai perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan melalui Sistem Belajar Jarak Jauh (SBJJ)? Pertanyaan ini sangat erat kaitannya dengan peran UT, terutama Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP), dalam menyelenggarakan pendidikan guru, khususnya bagi para guru yang ingin meningkatkan kemampuan dan kualifikasinya. Jika dilihat dari jumlah lulusan guru yang sudah dihasilkan, yang sampai tahun 1998 hampir mencapai 280 ribu orang, setiap orang pasti setuju bahwa UT mempunyai peran yang sangat penting dalam meningkatkan kualifikasi guru. Namun, apakah UT cukup berpuas diri dengan jumlah lulusan yang demikian besar? Di satu sisi mungkin ya, namun di sisi lain, secara jujur harus dijawab tidak.

Berbagai keluhan yang terjadi di lapangan membuat UT harus berusaha keras menjawab berbagai tantangan. Lebih-lebih untuk mewujudkan sosok guru abad 21 seperti yang sudah diuraikan di atas, masih banyak yang perlu diusahakan oleh UT. Dengan perkataan lain, implikasi renungan tentang sosok guru abad 21 sangat luas dan menyeluruh, yaitu menuntut UT untuk berbenah diri dalam semua komponen program, mulai dari rekrutmen mahasiswa sampai pelulusan. Jelas hal ini membawa dampak bagi semua komponen di UT, baik di pusat maupun di daerah.

Sistem rekrutmen mahasiswa yang bersifat terbuka dan dilakukan dari jarak jauh sering menimbulkan masalah karena kekurangakuratan persyaratan administratif yang diminta sehingga menimbulkan masalah ketika mahasiswa hampir lulus. Hal ini perlu diantisipasi dengan kecermatan yang tinggi dari petugas registrasi. Jika selama ini, para guru hanya boleh mengambil program studi yang sesuai dengan bidang studinya, sudah saatnya UT memikirkan untuk membuka program bagi semua guru tanpa memandang latar belakang formal bidang studi, kecuali jenjang latar belakang pendidikan terakhir, yaitu tamatan SLTA. Dengan cara ini, UT membuka peluang bagi guru untuk mengikuti segala perkembangan/perubahan yang akan terjadi secara terus-menerus, dan kerumitan persyaratan rekrutmen dapat dikurangi.

Sejalan dengan perbaikan sistem rekrutmen, program pendidikan guru juga perlu dibenahi. Program-program sertifikat atau penawaran mata kuliah yang sangat relevan bagi guru, misalnya Penelitian Tindakan Kelas (PTK) perlu dipertimbangkan pengembangannya. Cara ini akan memungkinkan guru mengambil mata kuliah yang memang diperlukan untuk meningkatkan kemampuan profesional tanpa harus terikat pada. pencapaian kualifikasi tertentu. Selanjutnya, program pendidikan lanjut seperti Sl PGSD dan Pascasarjana Kependidikan perlu secepatnya direalisasikan. Dalam waktu dekat barangkali Program SI PGSD perlu diusahakan pembukaannya. Program pendidikan lanjut ini akan memberi peluang bagi para guru dari SD sampai SLTA untuk terus belajar sehingga akan tersedia kesempatan untuk membina kemampuan memprediksi dan menanggulangi. Kemampuan yang terbentuk ini kernmudian dapat dimodelkan oleh para guru di depan kelas.

Berkaitan dengan pembenahan program pendidikan guru, pelayanan kepada mahasiswa juga perlu ditingkatkan, terutama dalam bidang pelayanan akademik. Proses pembelajaran yang selama ini lebih banyak diserahkan kepada mahasiswa dan pengelola di daerah, perlu dibenahi oleh UT, baik di pusat maupun di daerah sehingga pembentukan kemampuan profesional. guru mendapat. penanganan yang memadai. Dalam hal ini, mata kuliah yang paling rawan untuk dibenahi adalah Pemantapan Kemampuan Mengajar (PKM) serta mata kuliah yang mempersyaratkan praktik. PKM merupakan muara program yang memberi kesempatan kepada mahasiswa untuk menerapkan segala kemampuan yang telah diperoleh dari berbagai mata kuliah ke dalam pembelajaran di kelasnya sendiri. Oleh karena itu, program ini harus benar-benar dapat meyakinkan bahwa guru yang sedang menjadi mahasiswa sempat mengamati model yang benar serta mendapat kesempatan berlatih yang memadai. Untuk keperluan ini kolaborasi dengan sekolah, lembaga pendidikan guru setempat, serta instansi yang membina guru perlu ditingkatkan. Selanjutnya UT perlu merancang program ini dengan cermat serta mengadakan latihan yang memadai bagi para tutor dan supervisor PKM, sehingga mereka benar-benar dapat memodelkan pendekatan yang berorientasi kepada siswa (student oriented approach). Kaset-kaset video yang memuat perilaku guru yang efektif dalam mengajar sehingga dapat menciptakan suasana belajar yang nyaman dan menyenangkan perlu dikembangkan. Kaset video ini dapat dijadikan model yang diharapkan dapat mendorong guru untuk memperbaiki kinerjanya.

Terakhir, dalam bidang ujian, ada dua hal mendasar yang perlu dibenahi. Pertama, menyangkut sistem ujian, terutama bentuk ujian yang lebih didominasi oleh tes objektif. Tes objektif pada umumnya tidak dapat mengukur kemampuan yang bersifat keterampilan, apalagi sikap dan nilai, sehingga untuk menilai kernampuan profesional seorang guru, semestinya porsi tes objektif tidak terlampau besar. Oleh karena itu, perlu. dipikirkan cara lain untuk menilai kemampuan para guru yang sedang menjadi mahasiswa. Cara tersebut tentu harus sesuai dengan ciri UT yang menyelenggarakan pendidikan melalui SBJJ dengan jumlah mahasiswa ratusan ribu, di samping harus sesuai dengan paradigma baru pendidikan tinggi yang menekankan pada pendekatan yang berorientasi pada siswa dan penilaian yang didasarkan pada indikator penampilan (Brodjonegoro, 1999). Salah satu kemungkinan untuk menanggulangi masalah ini adalah memperluas desentralisasi penilaian terutama bagi mata kuliah yang memper.syaratkan keterampilan. Selanjutnya, dalam penentuan kelulusan, porsi kemampuan melaksanakan tugas sebagai guru perlu dipertimbangkan kembali, sehingga guru yang lulus dari satu program benar-benar merupakan lulusan yang berkualitas.

Aspek kedua yang perlu dibenahi adalah aspek moral, yang sangat erat kaitannya dengan cara pemecahan aspek yang pertama. Moral merupakan aspek yang paling menentukan keberhasilan program, namun paling sukar dibenahi. Untuk menjaga kualitas (yang juga merupakan salah satu paradigma baru. pendidikan tinggi), semua pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan pendidikan di UT, dari pegawai terendah sampai pimpinan puncak, baik di pusat maupun di daerah, demikian pula para personil dari instansi mitra UT harus menunjukkan komitmen yang tinggi terhadap peningkatan kualitas lulusan UT. Kejujuran dan keberanian mempertahankan kebenaran merupakan kunci keberhasilan. Tanpa itu, kualitas guru, yang merupakan lulusan UT, tidak akan mampu menghadapi tantangan abad 21 karena perubahan yang dipersyaratkan memang tidak terjadi pada dirinya.

Daftar Rujukan

BrodJonegoro, S. S. (1999). Management Change in University toward 21" Century: The Indonesian Policy. International Seminar Proceedings. Jakarta: Higher Education Project, Ministry of Education and Culture.

Brameld, Th. (1965). Education as Power. New York: Holt, Rinehart, and Winston, Inc.

Darling-Hammond, L. & Goodwin, A. L. (1993). Progress toward Professionalism in Teaching Dalam: G. Cawelti (ed). Challenges and Achievements of American Education, The 1993 ASCD Year Book. Alexandria: ASCD.

De Porter, B. & Hemacki, M. (1999). Quantum Learning. (Penerjemah: Alwiyah Abdurachman). Bandung: Penerbit Kaifa.

Hopkins, D. (1993). A Teacher's Guide to Classroom Reseach. Buckingham: Open University Press.

Jiono. (1992). Laporan Penelitian Kemampuan / Pemahaman Guru tentang IPA dan Sarana Pelajaran IPA di SMP. Jakarta: Balitbang-Dikbud.

Konsorsium llmu Pendidikan. (1993). Profesionalisasi Jabatan Guru: tawaran dan tantangannya. Jakarta: Konsorsium llmu Pendidikan.

McNiff, J. (1992). Action Research: Principles and Practice. London: Routledge.

Nasoetion, N. (1996). Laporan Pendidikan IPA dan Teknologi di SMP. (Naskah disajikan pada Seminar Dies Natalis UT, 28 Agustus 1996).

Nielson, D; Somerset, A.; Mahadi, R. & Wardani, I G. A. K. (1996). Sthrengthening Teacher Competency and Student Learning. Jakarta: Direktorat Pendidikan Menengah Umum.

Raka Joni, Prof Dr. T. (1989). Mereka Masa Depan, Sekarang. Tantangan bagi Pendidikan dalam Menyongsong Abad Informasi. (Ceramah Ilmiah: disampaikan dalam Upacara Dies Natalis XXXV, Lustrum VII IKIP Malang, 18 Oktober 1989).

_______(1998). Hasil Telaah 6 Usulan PTK PPGSD. (makalah disiapkan untuk
pertemuan PTK di Yogyakarta, 5 Januari 1998).

_______(1998). Pengembangan Model Kurikulum Program DII PGSD: antara kajian akademik vs pengembangan program. (naskah disampaikan pada Lokakarya Pengembangan Model Kurikulum Program Pendidikan Diploma Tenaga Kependidikan (DII PGSD) Tahun 1998/1999). Jakarta: Pubang Kurandik- Balitbang Dikbud, 6-7 Agustus 1998.

_______ (ed). (1992). Pokok-pokok Pikiran Mengenai Pendidikan Guru. Jakarta: Konsorsium Ilmu Pendidikan.

Riel, M. (1998). Teaching and Learning in the Educational Communities of the Future. Dalam: Christ Dede (ed). ASCD Year Book 1998. Pp. 171-195. Alexandria: ASCD.

Surat Keputusan Menpan No. 26 / Menpan / 1989 tentang Angka Kredit bagi Jabatan Guru dalam Lingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Tilaar, H. A. R. (1995). Pembangunan Pendidikan Nasional 1945-1995: Suatu Analisis Kebijakan. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia.

Toffler, A. (1992). Future Shock (Kejutan Masa Depan). Alih Bahasa: Dra. Sri Koesdiyatinah SB. Jakarta: PT Panca Simpati.

Wardani, I G. A. K. (1996). Pemantapan Kemampuan Guru dan Belajar Siswa. (Naskah disajikan pada Seminar Dies Natalis UT, 28 Agustus 1996).

______(1998). Pemberdayaan Guru: suatu usaha peningkatan mutu pendidikan. (Orasi Ilmiah, disampaikan dalam Upacara Dies Natalis XIV UniversitasTerbuka, Jakarta: 14 September 1998).

Zumwalt, K. (1989). Beginning Professional Teachers: the Need for a Curricular Vision for Teaching. Dalam M. C. Reynold (ed). Knowledge Base for Beginning Teachers. Pp. 173 -184. New York: Pergamon Press.