Senin, 27 September 2010

SUDAHKAH UPAYA INOVASI PENDIDIKAN MEMPENGARUHI PROSES PEMBELAJARAN?

Pendahuluan

Penulis ingin menyampaikan sekelumit pengalaman sebagai salah seorang yang sejak tahun tujuh puluhan ikut serta dalam kegiatan teknis pengembangan pendidikan Depdikbud, yang sekarang namanya Balitbang Diknas. Pengalaman ini kiranya dapat memperkaya wawasan pihak-pihak tertentu yang barangkali kurang mengikuti perkernbangan sebagian dari upaya inovasi pendidikan, khususnya di tingkat pendidikan dasar, menengah, dan pendidikan tinggi. Di lain pihak kekurangan dalam tulisan ini tidak mustahil dapat diperkaya dan disempurnakan oleh para pernbaca sehingga upaya inovasi pendidikan, khususnya proses pernbelajaran di dalam kelas selama enam Pelita tercatat secara baik, dan dapat dijadikan rujukan dalam melanjutkan pembaharuan pendidikan pada waktu yang akan datang.

Sejak Pelita I sampai sekarang telah banyak kegiatan inovasi pendidikan yang menyangkut proses pembelajaran dibiayai melalui proyek pembangunan, namun penulis memilih kegiatan di mana keterlibatan penulis di dalamnya cukup berarti. Kegiatan dimaksud antara lain dalam pelaksanaan Proyek Pembinaan Pendidikan Dasar (P3D), Proyek Perintis Sekolah Pembangunan (PPSP), Proyek Pemantapan Kerja Guru (PKG), Proyek Bantuan Profesional Kepada Guru SD (dikenal dengan CBSA), dan Proyek Pengembangan Keterampilan Dasar Teknik Instruksional. (Pekerti). Kegiatan kelima proyek ini menitik beratkan pada peningkatan proses pernbelajaran di samping penyempurnaan aspek pendidikan yang lain, seperti: peningkatan kualitas buku pelajaran (M), pengembangan sistem pendidikan dan bahan ajar (PPSP), peningkatan wawasan guru (PKG), dan peningkatan hubungan guru - kepala sekolah pemilik (CBSA).

Melihat pada keberadaan proyek di atas dapat dikatakan bahwa pembenahan proses pembelajaran ini telah dimulai sejak 25 tahun yang lalu. Perubahan apakah yang terjadi dalam proses pembelajaran, bagaimana perubahan itu terjadi, dan apakah perubahan tersebut sudah terjadi di kelas pada jenjang Pendidikan Dasar, Pendidikan Menengah, maupun Pendidikan Tinggi pada saat ini? Semuanya akan dapat dicermati melalui uraian di bawah ini.

Mengapa proses pembelajaran?

Kelima proyek seperti yang telah dikemukakan tersebut menitikberatkan kegiatannya dalam peningkatan proses pembelajaran. Hal ini didasarkan pada keyakinan bahwa melalui pembelajaran dapat dibentuk manusia Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam Undang-undang No.2, tahun 1989 yaitu, "Mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yakni manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan".

Sebenarnya jauh sebelum diberlakukannya UU tersebut, baik pada setiap GBHN maupun periode sebelum Pelita, tujuan pendidikan sudah digariskan antara lain pada awal kemerdekaan. Menteri Pengajaran pada tahun 1945, yaitu Ki HaJar Dewantara, menyebutkan bahwa "Pengajaran harus memberikan segala ilmu pengetahuan dan kepandaian umum yang perlu atau berguna bagi hidup dan batin murid-murid dan pelajar-pelajar kelas sebagai warga negara dan sebagai anggota masyarakat dengan dasar kekeluargaan". Beberapa tahun kemudian beliau menulis dalam mingguan Nasional yang isinya bahwa dalam diri manusia terdapat tiga kekuatan (trisakti). Bilamana tiga kekuatan ini dapat disatukan, maka terciptalah manusia yang berbudi dan beradab. Ketiga kekuatan tersebut adalah daya pikir (cipta), gerak-gerik hati (rasa), dan perbuatan/tindakan (karsa.).

Selanjutnya tujuan pendidikan yang tercanturn pada. setiap butir GBHN selalu mencantumkan ketiga. kekuatan tersebut sebagaimana. juga tujuan pendidikan dalam UU Sistem pendidikan nasional yang dikutip di atas. Tiga. kekuatan tersebut sesuai dengan tiga ranah (domain) yang dikembangkan oleh Bloom dengan kawan-kawannya yang dikenal dengan Taxonomy of Educational Objectives, yaitu pendidikan bertujuan untuk mengembangkan ranah kognitif, afektif, dan psikomotor.

Berdasarkan pada tujuan pendidikan yang disebutkan di atas, maka dalam setiap proses pembelajaran, guru (tenaga pendidik) mengernban tugas untuk mengembangkan ketiga ranah tersebut. Akan sangat keliru kalau seorang pendidik/pengajar beranggapan bahwa tugasnya hanya sebatas mencerdaskan peserta didik, lebih parah lagi kalau tingkat kecerdasan (kognitif) yang dilatihkan hanya pada jenjang ingatan dan pernaharnan. Bukankah di atas keduajenjang tersebut masih ada 4 jenjang lagi yang mernbawa anak didik pada taraf berpikir kritikal, logis, dan marnpu menyelesaikan masalah (problem solving).

Memperhatikan tujuan pendidikan nasional tersebut dan membandingkannya dengan pelaksanaan proses belajar mengajar di kelas atau dalam perkuliahan menimbulkan berbagai pertanyaan. Salah satu pertanyaan yang timbul adalah: Dengan proses pembelajaran sebagaimana yang berlangsung di lapangan, mungkinkah dihasilkan manusia Indonesia yang:

  1. beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa?
  2. berdisiplin, bekerja keras, tangguh, bertanggung jawab, mandiri, percaya diri, produktif, berorientasi masa depan dan beretos kerja?
  3. memiliki rasa cinta tanah air, semangat kebangsaan, dan kesetiakawanan sosial serta menghargai jasa para pahlawan bangsa dan patriotik?
  4. cerdas, inovatif, kreatif, dan profesional? serta
  5. sehat jasmani dan terarnpil menggunakan panca inderanya?

Untuk mengurangi kesenjangan antara tujuan yang ingin dicapai dengan pelaksanaan kegiatan untuk mencapai tujuan, maka sejak Pelita 1 pemerintah telah membuat proyek pada setiap jenjang pendidikan. Kesenjangan ini sudah diantisipasi sejak dini. Karena motivasi masyarakat untuk belajar sangat tinggi, maka pengadaan guru harus dilakukan secara darurat, antara lain dengan pengangkatan guru SD dari lulusan SD ditambah 1 tahun, dan pengangkatan guru SMP dari lulusan SLTA ditambah 2 minggu, serta guru SLTA dari lulusan SLTP ditambah 1 atau 2 tahun.

Upaya pemerintah pembelajaran dalam peningkatan kualitas Pembelajaran

Kelima proyek yang berupaya memperbaiki kualitas pernbelajaran untuk meningkatkan kualitas lulusan yang, dibutuhkan oleh kegiatan pembangunan tidak dimulai pada waktu yang bersamaan. Secara garis besar, selang waktu dilaksanakannya kelima proyek tersebut seperti digambarkan dalarn Gambar 1.

Gambar 1. Pelaksanaan Proyek Peningkatan Kualitas Pembelajaran

Gambar 1. Pelaksanaan Proyek Peningkatan Kualitas Pembelajaran

Setiap proyek selalu dimulai dengan tahapan uji-coba. Lama uji-coba bervariasi, sesuai dengan sifat program yang dikembangkan. Misalnya: uji-coba PPSP, memakan waktu yang paling panjang karena yang diuji-cobakan termasuk sistem

pendidikan SD-SMP-SMA. Setelah 10 tahun uji-coba, barulah dapat diambil kebijakan yang mengatakan proyek PPSP terpaksa dihentikan dan tidak dapat disebarluaskan, kecuali untuk komponen-komponen tertentu. Lain halnya dengan PEKERTI yang menguji-cobakan bahan pembelajaran yang akan digunakan, uji-cobanya hanya memerlukan waktu beberapa bulan.

Uraian ringkas mengenai tujuan setiap proyek, baik dari sudut pelaksanaan, hasil, maupun putusan kebijaksanaan dalam rangka penyebaran (diseminasi) hasil proyek adalah sebagai berikut.

1. Proyek Pembinaan Pendidikan Dasar (P3D)

Proyek ini dimulai pada tahun 1973 dan berakhir pada pertengahan dekade delapan puluhan. Dalam perjalanannya, kegiatan nama proyek berubah menjadi Proyek Pembinaan Sekolah Dasar (P2SD). Tujuan proyek adalah meningkatkan kualitas lulusan SD dengan sasaran utama untuk:

  • Menghasilkan buku pegangan guru dan murid (buku teks) untuk setiap mata pelajaran pokok di SD. Pada masa pra pelaksanaan proyek, sekolah belum menggunakan buku teks yang sama di semua, SD. Selain murid belum mampu membeli buku pelajaran, kualitas isi buku tersebut sangat beragam dari wilayah ke wilayah lain. Diharapkan pada akhir kegiatan proyek semua murid di SD akan memiliki buku teks dengan cara meminjam untuk setiap mata pelajaran di setiap kelas.
  • Melaksanakan penataran bagi guru SD di seluruh Indonesia. Materi penataran disesuaikan dengan materi, metoda, media dan penilaian buku teks yang akan digunakan secara nasional. Pada saat tertentu Kepala Sekolah, Penilik, dan pejabat di atasnya juga mengikuti penataran.

Buku teks SD dikembangkan melalui tahap uji coba di beberapa kabupaten yang tersebar di Indonesia seperti Lampung, Kuningan, Bone, dan Kodya Yogyakarta. Naskah buku ini dikembangkan oleh para pakar yang membidanginya, kemudian disempurnakan sesuai dengan masukan yang diperoleh dari lapangan. Guru dan Kepala Sekolah yang melaksanakan uji-coba semuanya mengikuti penataran yang berkenaan dengan uji-coba tersebut.

Sementara menyelesaikan tugas pengembangan buku teks dan persiapan penataran guru SD, pemerintah melaksanakan suatu penelitian eksperimental yang membandingkan pengaruh buku teks dan pengaruh penataran terhadap hasil belajar murid SD. Penelitian ini menunjukkan bahwa baik penataran maupun buku teks memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan buku pelajaran yang digunakan pada waktu. itu dan guru yang belum pernah ditatar. Dengan hasil ini pemerintah berketetapan untuk mendistribusikan buku teks Bahasa Indonesia, IPA, Matematika dan IPS kepada semua murid SD dengan cuma-cuma. Begitu juga penataran dilaksanakan dengan cara guru inti ditatar di pusat, kemudian guru inti tersebut menatar guru-guru lain di masing-masing daerahnya.

Karena berbagai kendala seperti distribusi buku paket yang terlambat, jumlah buku teks yang tidak sesuai dengan jumlah murid, buku paket mengandung konsep dan pendekatan yang tidak seperti yang biasa dilakukan, kurang berfungsinya sistem penghargaan dan sangsi, terlebih lagi adanya dua pengelola di SD yaitu Depdagri dan Depdikbud, timbul beberapa masalah, antara lain:

  1. buku teks hampir tidak digunakan peserta didik tetapi disimpan di lemari, dan diganti dengan buku pelajaran karangan perorangan yang diterbitkan oleh pihak swasta; dan
  2. proses pembelajaran kembali pada proses pembelajaran biasa yang menekankan pada proses berpikir rendah,

kurang memperhatikan pengembangan hati nurani, dan hampir tidak ada demonstrasi atau praktikum untuk pelajaran IPA.

Bukti bahwa proses pembelajaran menekankan hanya pada proses berpikir rendah dapat dilihat pada, Tabel 1 yang mencantumkan proses berpikir yang diukur pada berbagai ujian.

Tabel 1. Aspek Berpikir yang Diukur Pada Berbagai Ujian

TahunJenis Ujian

% Aspekerfikiryang
diukur

Keterangan

C1C2C3C4,5,6
1993Sumatif Cawu 1 IPA K1s.VI100

-

-

-Kabupaten
XYZ, Jawa
Barat
1997Contoh Soal
EBTANAS-SD
8416

-

-Korcil
Republika
25 Mei1997

2.Proyek Perintis Sekolah Pembangunan (PPSP)

Proyek Perintis Sekolah Pembangunan (PPSP) mulai melaksanakan kegiatannya pada tahun 1974 dan berakhir sekitar tahun 1984. Proyek ini merupakan pilot project di delapan IKIP Negeri. PPSP berupaya untuk menemukan pembelajaran yang lebih efektif dan efisien. Dalam kegiatan sehari-hari dicobakan berbagai konsep seperti konsep belajar tuntas, maju berkelanjutan, belajar mandiri, dan belajar sesuai dengan kecepatan individual. Sebagai media pembelajaran digunakan modul yang dilengkapi dengan lembaran-lembaran pendukungnya seperti Lembaran Kerja, Lembaran Evaluasi, Modul Pengayaan dan Modul Remidiasi. Hasil positif PPSP antara lain adalah lulusannya gemar membaca, mereka yang cerdas dapat menyelesaikan studinya 1/2 - 2 tahun lebih cepat, tingkat penguasaan materi

lebih mantap, serta terampil bekerja di laboratorium, dan/atau bengkel. Pelaksanaan tujuan pendidikan di PPSP diterapkan tidak hanya mengenai ranah kognitif, tetapi juga psikomotor dan afektif Hasil pembelajaran diukur secara cermat, tes hasil belajar, skala sikap dan pedoman observasi untuk keterampilan telah dikembangkan dan ada yang sudah dibakukan.

Konon kabarnya proyek ini tidak dapat didesiminasikan karena menurut pertimbangan para. pengambil keputusan, sekolah ini eksklusif dan cukup mahal. Namun demikian berbagai konsep yang positif, secara parsial telah diterapkan pada kurikulum 1986. Konsep yang diterapkan antara lain belajar tuntas, penggunaan modul ' dan belajar mandiri di SMP Terbuka. Pengalaman PPSP int juga memberi inspirasi pada pengembangan program pendidikan di Universitas Terbuka. Hal yang dipertanyakan adalah kalau alasan di atas menyebutkan PPSP eksklusif dan mahal, bagaimana dengan SMU unggulan yang berkembang akhirakhir ini? Kalau pada masa lampau PPSP adalah laboratorium pendidikan bagi IKIP, setelah 10 tahun kemudian. IKIP/FKIP diminta bermitra keda(partnership) dengan sekolah, suatu hal yang menarik untuk dicermati. Perangkat alat ukur, modul dan bahan pendukungnya sebagai produk/hasil PPSP tidak ditindak lanjuti, sepertinya karya ilmiah tersebut hilang tidak tentu rimbanya.

3. Proyek Pemantapan Kerja Guru (PKG)

Kegiatan. proyek PKG ini dimulai pada tahun 1980 oleh Direktorat Pendidikan Menengah Umum (Dikmenum), yang pada mulanya ditujukan untuk guru matematika, IPA dan Bahasa Inggris. Namun pada akhimya proyek ini meliputi semua guru mata pelajaran pokok di lingkungan Dikmenum. Tujuan proyek ini adalah untuk:

a. Meningkatkan pengetahuan dan keterampilan dengan cara:

  1. meningkatkan pengetahuan dan pemahaman mereka terhadap kurikulum 1975;
  2. meningkatkan kemarnpuan mereka dalam menganalisis konsep dan prinsip;
  3. memperkenalkan kepada mereka bahan pengajaran baru dan kegiatan-kegiatan yang mengembangkan keterampilan yang lebih finggi;
  4. meningkatkan keterampilan mereka dalam menganalisa butir soal dan mengkualifikasikan soalsoal; serta
  5. meningkatkan kemarnpuan mereka dalam menggunakan tes untuk bennacam-macain tujuan.

b. Mengubah sikap guru mengenai peranan mereka di kelas dengan melibatkan siswa, dan mengubah pendekatan dari teacher dominated approach kestudent centre approach.

c. Meningkatkan keterampilan guru dalam kelas dengan cara :

  1. membiasakan mereka dengan bemacam-macam metode mengajar;
  2. meningkatkan keterampilan dalam merencanakan pelajaran;
  3. meningkatkan keterampilan dalam menggunakan alat bantu belajar-mengajar;
  4. meningkatkan kesadaran dan kemampuan untuk menghadapi dan menangani keperluan perorangan siswa;
  5. meningkatkan keterampilan dalam menggunakan teknik bertanya; serta
  6. meningkatkan motivasi

d. Meningkatkan kemampuan guru IPA dengan cara:

  1. meningkatkan organisasi laboratorium sekolah, fasilitas penyimpanan dan keselamatan;
  2. memikirkan dan merencanakan situasi belajar melalui demonstrasi kelas dan eksperimen-eksperimen; serta
  3. menerapkan prinsip IPA dalam kehidupan sehari

Pada dua tahun pertama kegiatan penataran dilaksanakan dengan cara in dan on-service training yang lamanya 16 minggu (dua minggu pertama in, minggu ketiga sampai dengan minggu keempat belas on, dan dua minggu terakhir in lagi). Proyek banyak melibatkan tenaga dosen dari berbagai Perguruan Tinggi seperti ITB, yang berfungsi sebagai konsultan. Pada waktu on service training para konsultan turun ke sekolah membimbing dan membina peserta penataran dalam melaksanakan pembelajarannya.

Pada akhir tahun 1984 dilaksanakan suatu evaluasi sumatif untuk melihat keberhasilan PKG khususnya untuk bidang studi IPA (di SMA Biologi, Kimia, dan Fisika dan di SMP Biologi dan Fisika). Evaluasi sumatif ini dilaksanakan oleh tim eksternal untuk memperoleh hasil yang objektif. Laporan evaluasi menunjukkan bahwa proyek ini berhasil tidak hanya meningkatkan pengetahuan dan keterampilan guru mengajar IPA tetapi juga membawa dampak positif bagi peserta didik baik di tingkat SMP maupun SMA. Hal ini terbukti dari hasil "Tugas Praktikum Kelompok" yang berhasil lebih baik yang dikerjakan oleh peserta didik yang guru-gurunya telah ditatar melalui PKG dibandingkan dengan peserta didik yang gurunya belum mengikuti penataran.

Perlu juga dicatat di sini bahwa sementara proyek penataran ini berlangsung, juga berlangsung proyek pengadaan sarana dan prasarana (seperti laboratorium) bagi SMP dan SMA. Demikian juga upaya perubahan kegiatan proyek dilaksanakan agar dalam waktu yang tidak terlalu lama semua guru bidang studi pokok sudah mengikuti penataran minimal satu putaran.

Namun sementara waktu berjalan, terjadi pula perubahan kegiatan, antara lain: sebagian guru mengikuti penataran di PKG, yang lain di SPKG (Sanggar Pemantapan Kerja Guru yang berlokasi di ibukota propinsi dan ibukota kabupaten) dan pada tahun sembilan puluhan banyak penataran dilaksanakan dalam wadah Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP). Pelaksanaan penataran di SPKG dan MGMP dilakukan oleh instruktur yang telah pernah mengikutipenataran PKG satu atau dua kali, waktunya sehari dalam seminggu selama 12 hari kerja.

Pada awal tahun 1996, Dikmenum memberikan tugas kepada penulis untuk melihat pelaksanaan pembelajaran IPA di SMP. Daerah yang dikunjungi adalah Jawa Timur dan Surnatera Selatan. Ada 11 SMP Negeri dan Swasta yang dikunjungi mewakili sekolah favorit, sekolah biasa, dan sekolah kurang. Hasil observasi menunjukkan bahwa:

  1. Dalain pembelajaran guru mendominasi kegiatan, berarti telah menyimpang dari tujuan PKG semula, atau guru sudah kembali pada pembelajaran tradisional. Alat dan bahan yang ada di laboratorium kurang dipelihara, kotor, rusak labelnya, terbiar begitu saja. Guru kurang berminat untuk mendemonstrasikan peristiwa-peristiwa IPA, apalagi melakukan eksperimen. Sarana, peralatan dan bahan tidak atau kurang dimanfaatkan. Dengan kata lain berbeda dengan suasana pembelajaran pada periode PKG.

  2. Penekanan dalam pembelajaran ditujukan pada ranah kognitif pada jenjang berpikir rendah (ingatan, permahaman dan sedikit penerapan). Tidak heran kalau distribusi proses berpikir yang ditanyakan pada berbagai jenis ujian masih didominasi oleh proses berpikir rendah seperti tercantum pada Tabel 2.

Tabel 2. Aspek Kognitif pada Berbagai Jenis Ujian

No.

Jenis Ujian

Aspek berfikir yang di kur (%)Bentuk Tes
C1C2C3C4, 5, 6
1.Ebtanas70,011,019,0-Pilihan Berganda
2.Ujian Semester 566,014,020,0-Pilihan Berganda
3.Ujian Sekolah X (1996)74,78,316,7-Campuran Pilihan
4.Ujian Sekolah Y (1996)50,010,040,0-Berganda danUraian
Uraian

  1. Kebanyakan guru IPA yang dikunjungi telah mengikuti penataran IPA, sekitar 43% diantaranya telah dua kali mengikuti penataran, 27,6% telah pernah mengikuti PKG satu atau dua kali.

  2. Guru inti/instruktur penataran kurang mampu mengaktifkan guru peserta MGMP. Ada kesan bahwa guru inti bukan mendekati peserta tetapi menjauhi peserta baik individual maupun kelompok. Kelompok dibiarkan menyelesaikan tugasnya baik mengembangkan bahan tertulis untuk pembelajaran ataupun pada pelaksanaan teaching practice. Pada waktu observasi dilaksanakan, instruktur tidak- pernah memberi masukan/komentar kepada kegiatan kelompok maupun individual. Ruang penataran adalah ruang kelas biasa yang berisi meja, kursi, dan papan tulis. Kesan suasana belajar tentang IPA tidak terlihat sama sekali. Suatu pekerjaan yang sulit untuk gemar pada sesuatu yang bendanya tidak pernah dilihat, apalagi dipegang atau dioperasikan.

  3. Menurut jadwal penataran selama 12 hari pertemuan, sebagian besar waktu (73,2%) digunakan untuk membuat persiapan tertulis seperti analisis materi pembelajaran, lembar kerja siswa, dan rencana pembelajaran. Sedangkan waktu untuk proses pembelajaran hanya 14,6%. Ini berarti keterampilan proses pada pembelajaran IPA kurang dilatihkan. Wajar kalau mereka enggan melaksanakan kegiatan demonstrasi maupun eksperimentasi di kelas.

  4. Penataran 12 kali dengan tujuan seperti yang disebutkan di atas terutarna yang berkenaan dengan meningkatkan keterampilan mengajar maupun keterampilan dernonstrasi, dan eksperimentasi IPA dilakukan dalarn ruang kelas biasa sehingga peserta kurang tertnotivasi dan terangsang untuk ingin tahu, ingin berbuat sesuatu, dan selanjutnya timbul pertanyaan mengapa demikian. Bukankah rangsangan tidak harus selalu datang dari instruktur tetapi juga dari suasana lingkungan. belajar.

Pada awal kegiatan PKG, semua tujuan proyek telah dapat dicapai sebagaimana dilaporkan. dalam evaluasi sumatif, antara lain ditemukan bahwa peserta penataran tidak hanya meningkat ilmu pengetahuannya tetapi juga keterampilannya dalam melaksanakan demonstrasi dan berbagai eksperimen. Hasil penataran guru telah berhasil diterapkan pada peserta didik, sehingga peserta didik tidak hanya memperoleh ilmu pengetahuan, tetapi juga terarnpil menggunakan berbagai alat dan bahan di laboratorium. Disarnping itu, kegiatan kelornpok telah dapat dikernbangkan dengan baik, ini berarti ranah afektif seperti kerja sama, tenggang rasa, tanggung jawab, disiplin, menghargai pendapat orang lain dan sebagainya telah dapat dipupuk dan dikernbangkan. Namun kegiatan PKG ini lamna kelamaan luntur seiring dengan berlalunya waktu dan adanya perubahan pelaksanaan penataran sehingga pada saat sekarang ini,investment pemerintah baik melalui pengadaan laboratorium dengan peralatannya maupun kegiatan penatarannya, belum menunjukkan dampak yang seirnbang dengan investment tersebut. Justru ada gejala yang menunjukkan bahwa pembelajaran menjurus ke arah tradisional.

5. Proyek bantuan profesional kepada guru SD

Di atas telah diuraikan Proyek Pemantapan Kerja Guru yang sasarannya adalah guru bidang studi pokok di SMP- dan SMA. Pada waktu yang hampir bersamaan pemerintah dalam hal ini Balitbang Dikbud dan Ditjen Dikdasmen melaksanakan satu proyek dengan nama Bantuan Profesional kepada guru-guru SD yang kernudian lebih terkenal dengan nama proyek CIANJUR atau CBSA Cianjur. Proyek ini memulai kegiatannya pada tahun 1980 dan berakhir kira-kira 10 tahun kemudian. Sebagaimana proyek inovasi lainnya, CBSA Cianjur dimulai dengan status uji coba di tiga kecamatan yang melibatkan 60 SD Negeri. Tujuan proyek ini adalah:

  1. meningkatkan kemampuan dan keterampilan Penilik Sekolah sehubungan dengan pembinaan bantuan dan pelayanan profesional kepada para Kepala Sekolah dan Guru-,

  2. meningkatkan kemampuan dan keterampilan Kepala Sekolah sehubungan dengan pemberian bantuan dan pelayanan profesional kepada guru-guru;

  3. meningkatkan kemampuan. dan keterampilan profesional guru-guru-, serta

  4. meningkatkan mutu proses belajar mengajar sebagai sasaran antara. guna pencapaian tujuan yaitu. meningkatnya mutu pendidikan.

Strategi yang digunakan untuk mencapai keempat tujuan di atas adalah:

a. Mengolah materi kurikulum sehingga mudah dipahami oleh peserta didik di SD,

b. Mengubah sikap dan perilaku sehingga pembelajaran diarahkan pada:

  1. cara Belajar Siswa Aktif
  2. cara belajar berkelompok, individual, dan ada kalanya klasikal
  3. belajar antarmurid

c. Menggunakan alat pelajaran yang:

  1. alami, benda nyata
  2. dibuat sendiri (guru atau murid)
  3. terdapat dalam lingkungan sendiri

Setelah proyek mulai menunjukkan keunggulannya, banyak sekolah di sekitar Cianjur dan Jakarta berkunjung ke lokasi proyek untuk melihat dari dekat apa yang mereka lakukan dalam pembelajaran. Kunjungan oleh sekolah, yayasan, dan pejabat semakin gencar setelah berbagai surat kabar di Jakarta memuat berita-berita tentang CBSA. Suara Karya tanggal 28 Agustus 1984 memuat artikel dengan judul: "Sistem belajar yang baru ini menghasilkan. orang yang bersikap kritis, berani bicara dan juga aktif dan kreatif ''. Berita Buana tanggal 27 Agustus 1984 juga memberitakan: "Di SD-SD Cianjur dapat dilihat sistem mengajar yang lebih membantu anak didik untuk mengembangkan daya pikirnya".

Setelah uji coba berlangsung 4 tahun, Balitbang Dikbud menugaskan penulis untuk menginventarisasi inovasi yang terjadi di proyek tersebut khususnya pelaksanaan pembelajaran. Kajian inovasi dikhususkan pada pembelajaran IPA di kelas VI. Sebelum kajian ini dimulai, penulis telah banyak mengikuti pertemuan antar penilik, antar kepala sekolah dan antar guru yang terlibat dalam proyek CBSA. Dalarn mengembangkan maupun menerapkan program, guru, kepala sekolah dan penilik memiliki kerjasama yang baik. Status dalam birokrasi tidak mendominasi kegiatan, namun sebaliknya kreativitas lebih menentukan jenis kegiatan yang akan dilaksanakan. Dalam pengembangan bahan pembelajaran yang dihadiri ketiga unsur: guru, kepala sekolah, dan penilik, dapat terjadi guru lebih mendominasi pembicaraan dari pada dua unsur lainnya. Hal semacam ini lumrah dalam proyek CBSA. Semua kegiatan pembelajaran berpedoman pada kurikulum 1975 namun penjabarannya dirundingkan oleh guru kelas bersama kepala sekolah dan penilik. Guru yang terlibat dalam proyek ini mengadakan pertemuan periodik di Pusat Kegiatan Guru (PKG). Pusat ini berlokasi di salah satu SD. Di pusat inilah guru mendiskusikan kegiatan pembelajaran yang harus diberikan, yang berkenaan dengan materi, metode, alat bantu pembelajaran dan jenis tes yang harus diberikan baik sebagai pre-test maupun untuk post-test. Guru membuat sendiri atau mencari sendiri alat bantu pembelajaran yang paling sesuai dan yang membawa kesan dan mudah dipahami peserta didik. Kegiatan mencari dan membuat sendiri alat dan bahan yang diperlukan akan langsung meningkatkan keterampilan guru dalam menggunakan inderanya. Disamping itu, dampak positifnya terhadap pembelajaran memungkinkan guru untuk menyampaikan berbagai alternatif kegiatan yang menuju ke satu tujuan dalam pembelajaran.

Hasil pengamatan selama pelaksanaan pembelajaran IPA di kelas VI pada kurun waktu November 1984 sampai dengan awal Januari 1985 menunjukkan bahwa pembelajaran telah menggarap ketiga ranah: kognitif, afektif dan psikomotoris. Peserta didik menghayati benar ilmu pengetahuan yang mereka pelajari, sambil menambah ilmu pengetahuan, keterampilan mereka dibina dan dikembangkan. Begitu juga unsur kepribadiannya diarahkan pada tindakan yang positif. Dengan kata lain dapat dinyatakan bahwa: Dengan cara belajar yang dikembangkan di Cianjur khususnya pelajaran IPA tidak hanya murid mengerti karena mereka kerjakan sesuai dengan semboyan "Saya Kedakan Saya Mengerti"; tetapi yang tidak kalah pentingnya adalah tercapainya suatu situasi belajar IPA yang mampu meningkatkan keterampilan mereka baik dalam menggunakan alat dan bahan, menggunakan semua indera, membuat penafsiran, membuat ramalan, menggunakan konsep, merancang kegiatan yang berbau penelitian dan menulis laporan. Selain itu terciptanya suatu sikap positif dalam berbagai aspek seperti terbinanya kerja sama dalam kelompok, adanya ketekunan dalam mengerjakan tugas, adanya tanggung jawab yang besar untuk menyelesaikan tugas, berkemnbangnya semangat kerja yang tinggi, serta berkembangnya semangat bergotong royong untuk menanggulangi sesuatu masalah dan terbinanya minat belajar yang cukup tinggi.

Dalam satu kegiatan yang berjudul "Makanan Kita", guru memberi tugas untuk memilah-milah berbagai jenis makanan sesuai dengan tempat tumbuhnya, di sawah atau ladang/kebun. Guru meminta kelompok membawa berbagai jenis makanan dari rurnah dan juga mernbawa alat-alat yang diperlukan untuk membuat pajangan dinding. Jenis bahan makanan yang dibawa mereka antara lain, sayur-sayuran (kol, sawi, kangkung, buncis, daun singkong, bayarn, tornat), kedondong, pisang, jagung, kacang tanah, kacang hijau, beras, singkong, ubi rambat, bangkuang dan sebagainya. Sedangkan jenis alat yang dibawa antara lain: gunting, penjepit, lem, lilin, spidol, pisau dapur, pisau cukur (silet), kantong plastik dan sebagainya. Dalam proses pembuatan pajangan dengan menggunakan bahan dan alat tersebut, mereka tidak canggung menggunakan alat, mereka mernilih dengan tepat bahan dan alat yang sesuai. Mereka secara spontan dapat memilih apakah harus menggunakan lem atau hecht machine untuk melekatkan sesuatu. Pada ternpat yang terbatas dengan mudah mereka mengatur letak bahan-bahan yang akan dipajang (dipamerkan) sehingga sernua terlihat dengan rapi dan teratur. Tugas ini dikerjakan bersama di dalam kelompok. Anggota kelompok kelihatan terampil mengerjakan tugasnya.

Keberhasilan mengembangkan kemampuan peserta didik sebagaimana, tercantum dalam tujuan pendidikan nasional diakhiri dengan adanya kebijaksanaan pemerintah bahwa CBSA di SD dihentikan karena adanya penyimpangan yang kurang sesuai dengan prinsip tertentu. Konon kabarnya prinsip tersebut antara lain, kelas terdengar ribut karena adanya diskusi kelompok, anggota kelompok tidak selalu menghadap ke papan tulis sehingga ada dugaan dapat berakibat badan miring, mata juling, dan sebagainya. Selain dari pada itu, ada sekolah yang bergegas untuk melaksanakan CBSA tanpa memperhatikan konsep dasar yang mendasarinya yaitu antara lain adanya persiapan yang mantap bagi guru, kepala sekolah, dan penilik setempat.

6. Program Pengembangan Keterampilan Dasar Teknik Instruksional (PEKERTI)

Program Pekerti dicanangkan oleh Dikti untuk meningkatkan kualitas, pembelajaran dosen muda di perguruan tinggi. Sebelum program Pekerti telah ada sejumlah program peningkatan kualitas pembelajaran bagi dosen senior yaitu program P3G, program Akta-V, dan program Applied Aproach (A-A). Uraian tentang peningkatan kualitas pembelajaran di perguntan tinggi dibatasi pada program Pekerti di mana penulis diikutsertakan sebagai salah seorang penatar nasional untuk mata tataran Evaluasi Hasil Belajar. Pengelolaan Program Pekerti dipercayakan Dikti kepada PAU-PPAI-UT. Dalam pengembangan program PAU-PPAI-UT dilibatkan Tim Inti AA dari beberapa, PT Negeri.

Tujuan Pekerti secara khusus -antara lain, peserta diharapkan akan:

  • menghasilkan suatu Rancangan Mengajar Jangka Panjang untuk satu semester yang disebut GBPP;

  • menghasilkan seperangkat Rencana Mengajar Jangka Pendek untuk setiap pertemuan yang disebut Satuan Acara Pengajaran (SAP); serta

  • memiliki keterampilan mengajar.

Untuk mencapai tujuan di atas para dosen muda mengikuti pelatihan tatap muka selama 6 hari (48 jam) dan magang pada dosen senior selama satu semester. Materi yang diberikan pada pelatihan tatap muka adalah:

  • Prinsip Belajar dan Pembelajaran;

  • Rancangan Instruksional;

  • Penilaian Hasil Belajar; dan

  • Praktek Mengajar.

Setelah program ini beroperasi 3 tahun, penelitian

tahap I telah dilaksanakan dengan tujuan untuk menjawab pertanyaan: "Masalah apa yang dihadapi dosen muda dalam mempersiapkan proses perkuliahan, melaksanakan perkuliahan, dan mengevaluasi perkuliahan?" Hasil penelitian menunjukkan bahwa dosen muda yang telah mengikuti pelatihan tatap muka dan mengikuti magang dengan dosen senior telah mulai memperlihatkan adanya perubahan tradisi dalam pembelajaran walaupun belum maksimal; penguasaan materi pembelajaran sudah baik, adanya variasi penyampaian perkuliahan dengan memanfaatkan media, meningkatkan interaksi tanya jawab, dan memberikan latihan dan tugas-tugas.

Secara khusus pengalaman penulis dalam mengerakan latihan mengenai pengembangan tes baik bentuk uraian maupun bentuk objektif, para peserta belum terbiasa membuat soal yang sifatnya mengukur proses berpikir tinggi seperti aspek analisis, sintesis, dan evaluasi. Mereka cenderung membuat soal ingatan. Kecenderungan ini tentu tidak lepas dari kebiasaan dalam pelaksanaan pembelajaran. Kebiasaan inilah yang menggiring mereka sehingga sukar untuk mengembangkan soal yang mengukur proses berpikir tinggi. Kiranya latihan pembelajaran melalui pemecahan masalah, atau membawa kasus yang riil dalam masyarakat ke dalam perkuliahan perlu ditingkatkan frekuensinya.

Sebenarnya program Pekerti tidak hanya diminati oleh dosen muda di perguruan tinggi negeri, namun juga diminati oleh perguruan tinggi swasta, dan berbagai Diklat yang berstatus negeri, BUMN, dan swasta.

Rangkuman dan harapan

  1. Dalam masa pembangunan telah ada. sejumlah proyek pemerintah yang diarahkan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran. Proyek-proyek lahir pada waktu yang berbeda, ada yang lahir beberapa Repelita kemudian. Peningkatan kualitas ini telah diupayakan di tingkat Pendidikan Dasar yaitu P3D/P2SD, PPSP dan CBSA khususnya di SD, di tingkat Pendidikan Menengah (PPSP dan PKG), dan di tingkat Pendidikan Tinggi yaitu Proyek P3G,Applied Approach, dan Pekerti. Upaya peningkatan yang telah dilaksanakan tidak terbatas pada ranah kognitif tetapi juga pada ranah afektif dan ranah psikomotor. Upaya ini telah berhasil dilihat dari berbagai sisi, namun ada penglihatan lain yang menyebabkan kegiatan ini tidak dapat dilanjutkan walaupun dengan mengadakan penyesuaian.

  2. Proyek Pembinaan Pendidikan Dasar selain membenahi proses pembelajaran juga menghasilkan buku teks yang harus digunakan dalam kegiatan sehari-hari di kelas. Dampak pembenahan ini di lapangan masih jauh dari harapan karena kebanyakan guru SD masih mendominasi kegiatan dalam kelas, murid dijadikan sebagai pendengar yang baik. Buku teks yang sudah memiliki kualitas yang baik, digantikan oleh buku pelajaran yang kurang mendukung tercapainya tujuan pendidikan di SD.

  3. Pendekatan yang digunakan oleh proyek untuk melaksanakan peningkatan kualitas pembelajaran ini tidak sama. Proyek PPSP meningkatkan kualitas pembelajaran melalui pembaharuan sistem pendidikan dasar dan menengah secara menyeluruh seperti penjenjangan SD-SMP-SMA menjadi 5-3-3, adanya maju berkelanjutan, belajar tuntas, belajar dengan menggunakan modular, dan menitikberatkan pada, belajar mandiri/kelompok. Proyek PKG dan Proyek Pekerti meningkatkan kualitas pembelajaran dengan meningkatkan kualitas kemampuan para pendidik (guru dan dosen). Sedangkan proyek CBSA upaya peningkatan kualitas pembelajaran diawali dengan mengubah persepsi para pengelola pendidikan SD di tingkat yang paling rendah yaitu Kepala Sekolah dan Penilik.

  4. Ada kegiatan yang telah berhasil di proyek yang satu karena hal-hal tertentu tidak digunakan pada proyek yang lainnya walaupun kegiatan tersebut sangat erat kaitannya. Misalnya PPSP telah berhasil mengembangkan program pengayaan dan remediasi, proyek CBSA tidak menggunakan program ini walaupun dalam rencananya peserta didik yang lambat tempo belajamya harus dibantu oleh guru. Demikian juga dengan bahan bacaan, CBSA sangat terbatas pada buku, "Manusia dan Alam Sekitarnya", sedang di PPSP telah banyak modul-modul IPA.

  5. Hasil-hasil positif yang telah dicapai masing-masing proyek, belum semuanya dimanfaatkan. Kenyataan menunjukkan bahwa ada hasil yang:

  • diteruskan dan disebarluaskan kegiatannya; misalnya Program Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI), yang dipelopori oleh PPSP dan Kurikulum 1975. Sampai sekarang di semua jenjang dan jenis pendidikan program ini tetap diharuskan pelaksanaannya.

  • menurut rencana akan diteruskan pelaksanaannya, namun dalam kenyataannya belum menjadi bagian dari sistem pendidikan, antara lain kegiatan belajar tuntas dan maju berkelanjutan.

  • diteruskan dengan berbagai penyesuaian, namun setelah ada penyesuaian, hasil kualitas pembelajaran semakin jauh dari hasil sebelum. ada penyesuaian, contohnya antara lain penyelenggaraan proyek PKG yang diubah menjadi SPKG dan akhirnya menjadi MGMP.

  • kurang mendapat dukungan dan dorongan dari Depdikbud (Depdiknas, sekarang), misaInya proyek CBSA, kegiatan praktek (di laboratoriurn IPA dan laboratoriurn bahasa) dan upaya-upaya pengembangan nilai dan sikap.

  1. Seyogyanya semua hasil proyek yang telah dicapai selama ini baik berupa program, bahan pembelajaran, alat ukur, hasil pengukuran atau. laporan diarsipkan dengan baik dan dijadikan sebagai bahan pustaka.

  2. Adanya upaya dari LPTK untuk menjadikan hasil-hasil yang telah dicapai selama ini sebagai bahan kajian/bahan diskusi yang berkaitan dengan pendidikan di Indonesia. Dengan kata lain kelemahan-kelemahan yang pernah dialami tidak akan terulang pada waktu yang akan datang. Dengan maraknya pendirian sekolah unggulan akhir-akhir ini, pengalaman pada kelima proyek dijadikan referensi dan sedapat mungkin hasil yang positif dimanfaatkan sambil berupaya untuk mengadakan. penyernpurnaan.

  3. Upaya yang lebih akademik dalam menentukan keberhasilan suatu kegiatan perlu ditumbuh suburkan. Pengalaman memberhentikan suatu kegiatan atas dasar pertimbangan birokrat tidak hanya menyepelekan semua sumber daya yang telah dikerahkan selama ini, tetapi juga mengecewakan banyak peserta didik dan orang tua murid/masyarakat.

  4. Di satu masa pada akhir tahun tujuh puluhan dan awal tahun delapan puluhan hampir semua LPTK pemerintah memiliki sekolah laboratorium(Laboratorium School. Pada tahun 1985, semua LPTK tersebut "melepaskan" sekolahnya. Lima tahun kemudian pemerintah mengharuskan semua dosen LPTK harus memiliki pengalaman di sekolah dan pada saat ini sedang dikembangkan pula pola/model kemitraan antara LPTK dengan sekolah. Pada kurun waktu yang sama salah satu pemikiran bahwa PPSP harus dihentikan aktivitasnya adalah karena. sekolah tersebut: "ekslusif, mahal dan rumit pelaksanaannya". Bukankah sekolah unggulan. yang ada di setiap propinsi termasuk kategori yang demikian? Apakah kejadian seperti ini akan terjadi lagi pada era reformasi ini? Bukankah uraian di atas telah menyentuh hati untuk memikirkan reformasi pada proyek-proyek pendidikan yang akan datang?

  5. Kalau lima contoh proyek di atas belum menunjukkan kegiatannya yang pada akhirnya bermuara pada pembaharuan proses pembelajaran, bagaimanakah dengan proyek-proyek lain yang jumlahnya sudah ratusan bahkan mungkin ribuan di lingkungan Depdikbud, adakah kesinambungannya, sudah jelaskah muara yang akan dituju? Barangkali ini termasuk pertanyaan penelitian yang oleh Lembaga Penelitian Pendidikan Depdiknas dapat menyusun jawabannya pada. waktu yang dekat ini.

Marilah kita. sebagai para pendidik, secara bersama-sama belajar dari pengalaman yang lalu untuk mengembangkan dan membina pendidikan yang lulusannya lebih mampu bersaing dalam abad kedua puluh satu yang akan datang.

Daftar pustaka

Bloom, B.S. (1977). Taxnomy of Educational Objectives: The Classification of Educational Goals. N.Y.: Longmans, Green and Co.

Eggleston, J. (1984). A. Summative Evaluation of PKG, Laporan Penilaian. Jakarta: Dikmenum.

Moch. Tauchid, dkk. (1962). Ki Hadfar Dewantara (Bagian Pertama, Pendidikan), Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa.

Nasoetion, N. (1985). Proses Mengajar Bidang Studi IPA. Laporan Penelitian Bantuan Profesional Kepada Guru-guru Sekolah Dasar. Jakarta: Balitbang Dikbud.

______ (1996). Pendidikan IPA dan Teknologi di SMP, Laporan Penilaian. Jakarta: Dikmenum.

Pannen, P., dkk. (1997). Manfaat Keterampilan Dasar Teknik Instruksional Dosen Junior Dalam Proses Perkuliahan. Laporan Penelitian. Jakarta: Universitas Terbuka.

edijarto. (1981). Faktor-faktor yang Mempengaruhi KualitasProses Belajar dan Mutu Hasil Belajar Kelas Terakhir SD. Disertasi untuk mencapai derajat Doktor dalam Ilmu Pendidikan di IKIP Bandung.

Supeni, T. dan Admin Adjis. (1991). PKG Sebagai Upaya Peningkatan Kemampuan Profesional Guru IPA. Disajikan pada Seminar Lokakarya Kebijakan Pendidikan IPA/Tugas Praktikum Kelompok di SMP dan SMA. Jakarta.

Undang-undang No.2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta.

Tjiptosasmito, W., dkk. (1979). Report of the Monitoring and Evaluation of the Teacher Training Development Proyea, Laporan Penilaian. Jakarta: BP3K.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar