Senin, 27 September 2010

Pengaruh pendidikan tingkat prasarjana dalam keahlian komunikasi: sebuah trial klinis terkontrol acak

Abstrak

Tujuan: Untuk menentukan apakah mahasiswa meningkat keahlian komunikasinya sebagai akibat dari perawatan pasien yang terawasi dan apakah kursus komunikasi yang baru diimplementasikan bisa lebih meningkatkan keahlian-keahlian ini.

Metode: Kami melakukan sebuah trial terkontrol acak yang mencakup semua partisipan mahasiswa yang studinya sudah dalam dalam tahap kursus perawatan klinis pertama (n = 26) dari Oktober 2006 sampai Februari 2007. Pengacakan diseimbangkan berdasarkan jender dan keahlian komunikasi dasar. Kelompok tes mempraktekkan keahlian komunikasi pasien-dokter gigi pada kelompok-kelompok kecil dengan memainkan peran dan wawancara dengan pasien sebenarnya yang direkam dengan tape, sedangkan kelompok kontrol belajar dalam loka-karya berbasis masalah setiap pekan. Sebelum dan setelah wawancara (dua kelompok sebelum dan setelah desain) semua mahasiswa melakukan dua wawancara dengan pasien-pasien yang distimulasi. Pertemuan ini diberi nilai dengan menggunakan checklist 10-pertanyaan yang diambil dari Calgary-Cambridge Observation Guide I.

Hasil: Ukuran ANOVA berulang (α = 0,05) menunjukkan perbedaan signifikan antara skor jumlah rating antara kelompok tes dan kelompok kontrol (P = 0,004). Partisipan yang dididik dalam hal keahlian komunikasi mengalami peningkatan signifikan (Δ = +14,9; P = 0,004), sedangkan pada kelompok kontrol tidak ada pertambahan kompetensi komunikasi praktis yang diamati (Δ = -3,9; P = 0,23).

Kesimpulan; Bisa ditunjukkan bahwa semata-mata berinteraksi dengan pasien selama sebuah praktik perawatan klinis tidak meningkatkan keahlian komunikasi profesional. Sebaliknya, implementasi sebuah kursus keahlian komunikasi memperbaiki kompetensi praktis dalam hal interaksi dokter gigi-pasien.

Pendahuluan

Komunikasi yang baik sangat penting bagi praktik klinis dan memiliki banyak efek positif dalam interaksi harian antara dokter (dokter gigi) dan pasien: perbaikan bisa ditemukan untuk kesehatan pasien, pelaporan sendiri pasien tentang keadaan kesehatannya, kualitas dan kuantitas informasi yang diperoleh, atau pembentukan hubungan terapeutik. Lebih lanjut, kepuasan pasien dan dokter meningkat dan menurunnnya jumlah trial malpraktik yang telah dilaporkan. Dalam hal ini, semakin banyak yang berminat dalam kedokteran dan kedokteran gigi untuk memadukan pengajaran komunikasi dalam kurikulum dan untuk menentukan target-target pembelajaran untuk tingkat-tingkat kualifikasi berbeda pada pendidikan klinis pra dan pasca sarjana. Organisasi Kesehatan Dunia menentukan kriteria dokter yang baik dalam lima atribut umum sebagai seorang komunikator yang sangat baik.

Seperti badan lainnya, Association for Dental Education inf Europe telah melakukan aktivitas untuk mengharmoniskan kurikulum kedokteran gigi di negara-negara Uni eropa. Sebuah paper posisi menentukan profil kompetensi dari dokter gigi Eropa dan implikasi terkait untuk pendidikan kedokteran gigi. “Komunikasi dan Keahlian Antar-Pribadi” disoroti sebagai kompetensi utama dan salah satu dari tujuh hal yang mewakili kategori-kategori luas dari aktivitas profesional.

Selain dalam kedokteran umum dimana banyak kelompok penelitian dan rumah sakit yang berdedikasi untuk komunikasi dokter-pasien, program-program pelatihan khusus dalam pendidikan kedokteran gigi yang meningkatkan komunikasi dalam hal kunjungan ke dokter gigi dan penelitian lebih sulit ditemukan dalam literatur.

Salah satu motif yang mungkin untuk sikap awal ini adalah bahwa belum jelas apakah pendidikan klinis saja bisa mengarah pada kompetensi dalam keahlian komunikasi. Lebih lanjut, pengimplementasian sebuah kursus keahlian komunikasi dengan pengajaran kelompok-kecil merupakan pekerjaan yang intensif tenaga kerja dan menentukan standar yang tinggi untuk kualifikasi dalam komunikasi dan pengajaran bagi fasilitator. Berbeda dengan bidang pendidikan lain dalam kedokteran gigi, komunikasi terkait dengan konsep harga diri individual dari para pembelajar. Pengalaman yang didapatkan dalam bidang lain tidak akan secara otomatis diterjemahkan menjadi komunikasi yang efektif. Kurangnya staf yang terlatih merupakan kendala yang paling sering disebutkan untuk keberhasilan pengajaran komunikasi.

Dengan demikian, penting untuk mengevaluasi sejauh mana pendidikan dalam keahlian komunikasi diperlukan dalam kedokteran gigi, dengan orientasi praktisnya yang cukup besar. Jika hipotesis ini ingin diterima, ini akan menimbulkan pertanyaan tentang penggunaan efisien dari sumber daya pendidikan yang terbatas, misalnya, seberapa seragam kelompok target berkenaan dengan kualifikasi awal dan perbedaan jender yang ada.

Pendidikan kedokteran gigi pra-sarjana di Jerman lazimnya ditandai dengan banyaknya kursus laboratorium dan klinis, yang menghasilkan banyak pertemuan pasien khususnya pada periode-periode klinik. Akan tetapi, aspek-aspek komunikasi pasien-dokter gigi dengan kursus spesifik jarang terpadu dalam kurikulum standar. Pada tahun 2005, kami membuat sebuah konsep pengajaran terpadu untuk kursus-kursus dalam Kedokteran Gigi Operatif dan Periodontologi di sekolah kedokteran gigi kami untuk membuat peka para fasilitator dan mahasiswa terhadap bidang interaksi pasien dan untuk mengkalibrasi diri kami dalam hal proses dan konten kursus tersebut.

Dalam penelitian kali ini, kami menguji hipotesis yang mengatakan bahwa: (i) mahasiswa secara independen meningkat keahlian komunikasinya sebagai akibat dari perawatan pasien yang terawasi dan (ii) bahwa sebuah kursus komunikasi yang baru diimplementasikan akan meningkatkan keahlian-keahlian seperti ini.

Metode

Praktek intervensi-pendidikan dan kursus komunikasi

Efek sebuah kurikulum dalam keahlian komunikasi tergantung pada kualitas kandungan pendidikan serta metodenya. Kami telah memutuskan untuk memilih konsep Calgary-Cambridge (CCOG) (Gbr. 1) sebagai sebuah pendekatna berbasis bukti untuk mencakup kandungan dan untuk berfungsi sebagai panduan-panduan organisasional. Ini dianjurkan sebagai salah satu kerangka p-ikir yang paling komprehensif dan bermanfaat untuk instruksi keahlian komunikasi dan dianggap sebagai panduan komunikasi dengan kualitas yang paling tinggi. Lebih lanjut, pendekatan ini memadukan proses sosial dan teknis yang tipikal untuk pertemuan dalam kedokteran gigi dengan memasukkan pemeriksaan fisik dan proses wawancara.

Disamping spesifikasi kandungan dan penyaluran target-target pembelajaran itu sendiri, pendidikan fasilitator diatur untuk meningkatkan keahlian wawancara personil dan memungkinkan mereka untuk memimpin kelompok-kelompok pembelajaran kecil. Sebuah proses pembelajaran yang efektif memerlukan keragaman metodologi. Piramid Miller yang mengilustrasikan tingkat-tingkat berbeda dari proses ini dijadikan sebagai sebuah kerangka-pikir didaktik untuk memilih metode-metode pembelajaran. Pada awalnya, keahlian ditunjukkan dan dibahas dalam sebuah kelompok kecil (6 sampai 7 peserta) dengan alat rekaman video dan kasus pasien diikuti dengan permainan peran. Selanjutnya, video partisipan yang mewawancarai pasien sebenarnya direkam dan dianalisis dalam kelompok mereka. Setiap partisipan dalam penelitian ini memiliki akses bebas terhadap sebuah panduan kecil, yang memuat item-item utama dari CCOG. Aspek-aspek kunci dari program ini adalah konsep pengetahuan tentang psikologi komunikasi dan keahlian komunikasi pasien-dokter, sedangkan bagian “penjelasan dan perencanaan” dipersiapkan untuk pengembangan kursus ini di masa mendatang. Selama musim dingin 2006/2007 (14 pekan), waktu yang dihabiskan untuk masing-masing partisipan adalah 2 jam per pekan dengan loka-karya permulaan selama 10,5 jam. Dalam interval antara sesi-sesi kelompok, mahasiswa diminta untuk mempersiapkan diri untuk kandungan CCOG dengan bab-bab buku teks yang relevan dari Silverman dkk.

Tolak ukur hasil keahlian komunikasi

Prosedur evaluasi yang digunakan dalam penelitian ini didasarkan pada CCOG1, yang memberikan item-item yang menilai keahlian prosedural selama wawancara pasien yang terstimulasi. CCOG memiliki kelebihan yang sama persis dengan keahlian yang digunakan untuk mengajar dan penilaian. Sebanyak 38 item ditentukan ke dalam kategori berikut:

1.Memulai sesi [membuat rapor awal, mengidentifikasi alasan untuk konsultasi].
2.Mendapatkan informasi [eksplorasi masalah pasien, keahlian tambahan untuk memahami perspektif pasien].
3.Menyediakan struktur bagi konsultasi [membuat organisasi menjadi jelas]
4.Membangun hubungan [menggunakan perilaku non-verbal yang sesuai, membuat rapor, melibatkan pasien]
5.Menutup sesi

Tiga dosen yang terlatih dalam komunikasi dokter-pasien memilih 10 dari item-item ini dengan konsensus yang disamakan, yang konsisten dengan situasi kontak pasien awal dimana pewawancara bertujuan untuk mengidentifikasi pertimbangan pasien dan untuk mengevaluasi masalah-masalah medis umum. Mahasiswa mendapatkan rating untuk masing-masing item antara 0 sampai 3 (Tabel 1) menghasilkan skor total tertinggi 30. Kualitas keahlian proses komunikasi didefinisikan dengan skor total sebagai variabel dependen.

Peserta dan pengamatan

Peserta dalam kursus klinis pertama Kedokteran Gigi Operatif dan Periodontologi (tahun ke-4 dari studi) di musim dingin 2006/2007 (n = 26) dijadikan sebagai kriteria untuk berpartisipasi dalam penelitian ini dan semua 26 mahasiswa memberikan izin tertulis untuk berpartisipasi dalam penelitian. Subjek-subjek ini dimasukkan secara acak ke dalam kelompok uji dan kelompok kontrol setelah pengamatan pertama, kedua kelompok disusun secara paralel dengan mencocokkan variabel-variabel jender (18 perempuan dan 8 lelaki) dan kompetensi komunikatif untuk memastikan distirbusi homogen dari keahlian komunikasi pada tingkat dasar dan bukan jumlah subjek yang kecil.

Masing-masing mahasiswa melakukan dua wawancara dengan pasien yang terstimulasi pada awal dan akhir dari kursus ini. Pada masing-masing pengamatan seorang pasien perempuan dan seorang pasien lelaki terstimulasi diwawancarai. Pasien-pasien terstimulasi dikumpulkan selama 3 jam sebelum penilaian. Semua naskah pasien yang terstimulasi memiliki tingkat kesulitan yang sama dan penentuan tugas yang sama. Para mahasiswa diinstruksikan untuk mengidentifikasi alasan-alasan mengapa mereka melakukan konsultasi dan risiko-risiko kesehatan yang potensial. Pada kedua pengamatan, pengamat-pengamat yang dilatih sama (berbeda dari orang-orang yang ditunjuk sebagai guru dan peneliti) menilai para partisipan, sedangkan urutan wawancara ditentukan secara acak.

Sesuai dengan kelompok tes yang terlatih pada kursus komunikasi yang baru dibuat, para mahasiswa dari kelompok kontrol dilibatkan dalam sebuah tutorial berbasis masalah tentang perencanaan perawatan dengan format kelompok yang sama dan muatan studi yang sama seperti kelompok tes. Semua mahasiswa dari kelompok tes dan kelompok kontrol yang menghadiri kursus klinis cukup mirip dan tidak ada perbedaan tentang waktu kontak dengan pasien dan menambah sampai 150 jam total dan 75 jam sebagai terapist yang bertanggung jawab.

Analisis data

Data tidak dianalisis sebelum akhir kursus untuk menjamin agar kinerja tidak memiliki pengaruh terhadap kelulusan dalam kursus klinis. Hanya keahlian proses komunikasi yang relevan dalam evaluasi ini: kandungan materi “dental” tidak dipertimbangkan. Jumlah skor dari checklist CCOG yang dimodifikasi dijadikan sebagai variabel dependen. Pengaruh intervensi (tes versus kontrol) yang tergantung pada waktu pengamatan dan jender diuji dengan menggunakan model ANOVA berulang dengan matriks kovarians yang tidak terstruktur. Tingkat signifikansi untuk penolakan hipotesis null ditentukan pada α = 0,05.

Hasil

Nilai mean dan SD dari skor total ditunjukkan pada Tabel 2. Nilai berkelompok pada awal penelitian adalah 25,6 (11.2). Kelompok tes dan kelompok kontrol tidak menunjukkan perbedaan signfikian pada pengamatan awal. Partisipan perempuan dan lelaki berkinerja serupa pada awal dan akhir (Gbr. 2 dan 3). Setelah menyelesaikan kursus klinis, tidak ada peningkatan kompetensi komunikasi yang bisa diamati pada peserta tanpa intervensi aktif di bidang komunikasi pasien-dokter gigi (Δ = -3,9; P = 0,23). berbeda dengan itu, perbedaan signifikan antara kelompok tes dan kelompok kontrol bisa menjadi jelas (P = 0,004). Para peserta dari kelompok tes membaik signifikan setelah mengikuti kursus komunikasi (Δ = +14,9; P = 0,004).

Pembahasan

Kekurangan dalam komunikasi dokter-pasien sering dilaporkan dalam literatur. Lebih lanjut, ada beberapa indikasi bahwa keahlian komunikasi tidak membaik tanpa pendidikan. Hasil kami memberikan bukti bahwa dalam kedokteran gigi, perbaikan keahlian komunikasi profesional selama kursus klinis tidak dapat terwujud tanpa dukungan yang tinggi. Lebih daripada itu, hasil dari disiplin-disiplin medis yang berbeda konsepnya dapat ditransfer ke dalam bidang pendidikan kedokteran gigi di Jerman. Dengan membandingkan hasil dari kelompok kontrol pada kedua pengamatan (Δ = -3,9), bisa dihipotesiskan dalam penelitian selanjutnya bahwa mirip dengan disiplin-disiplin lain, keahlian komunikasi sebetulnya menjadi buruk ketika mahasiswa semakin jauh menjalani pendidikan kedokteran gigi mereka.

Akan tetapi, kualitas komunikasi dokter-pasien bisa membaik dengan pendidikan khusus, meskipun setiap upaya dalam pengembangan keahlian wawancara bisa menjadi permukaan. Dalam ilmu medis. Perpaduan kursus pendidikan menjadi kurikulum secara keseluruhan telah banyak dipostulasikan dan berbagai upaya telah dilakukan untuk menentukan tujuan kurikuler ini dalam pernyataan-pernyataan konsensus. Umum bagi semua pendekatan ini bahwa serangkaian keahlian wawancara membentuk kerangka konseptual untuk pengembangan sebuah kurikulum komunikasi. Dalam hal ini, berbagai model berbeda dibuat yang dapat disesuaikan dengan kondisi-kondisi lokal:

1.Checklis Wawancara Brown
2.Panduan Calgary-Cambridge
3.Model E4
4.Pernyataan konsensus Kalamazoo
5.Mass Global
6.Inisiatif Macy dalam model komunikasi kesehatan
7.Metode klinis terpusatkan pasien
8.Kerangka pikir Segue
9.Model Tiga-Fungsional

Walaupun tidak ada standar untuk penentuan komunikasi yang baik dalam kunjungan medis, orientasi pasien sering mendominasi sebagai sebuah titik sentral. Ini mencakup pertimbangan yang sesuai terhadap ide, pertimbangan pasien dan emosi serta permintaan informasi mereka. Van Dalen dkk mampu menunjukkan bahwa lebih dari setengah varians dalam efek pembelajaran tergantung pada kandungan kursus komunikasi.

Dari konsep-konsep yang tersedia, kami mengambil model Calgary-Cambridge sebagai basis untuk perencanaan kursus kami, karena sejauh pengetahuan kami ini merupakan salah satu kerangka-kerja yang paling komprehensif dan paling bermanfaat untuk instruksi dan penilaian dalam keahlian komunikasi. Disamping itu, metode ini telah mendapatkan kepercayaan yang luas dalam pengaplikasian saintifiknya dan disebut sebagai panduan dengan kualitas tertinggi dalam sebuah perbandingan terbaru. Lebih lanjut, pendekatan ini memberikan dasar untuk mengajarkan keahlian wawancara medis pada tingkat nasional dan internasional.

Salah satu kekurangan dari penelitian ini bisa berupa pemilihan item dari CCOG yang tidak divalidasi dalam hal data validitas dan reliabilitas yang ada. Akan tetapi, menurut pendapat penulis bahwa perbedaan signifikan dalam hasil kelompok tes dan kelompok kontrol membenarkan desain penelitian yang disajikan disini.

Mungkin perlu dipertanyakan apakah peserta dari kursus komunikasi mengambil diuntungkan dalam prosedur penilaian karena pengetahuan mereka tentang CCOG. Selama masa ini, setiap subjek dalam penelitian ini memiliki akses bebas terhadap panduan paket CCOG melalui sebuah platform e-learning open-source, ILIAS dan dengan demikian, basis pengetahuan yang menunjukkan tingkat terendah dari piramid Miller cukup mirip pada kedua kelompok penelitian. Meski demikian, penelitian yang tidak mendapatkan pendidikan tambahan dalam keahlian komunikasi tidak mampu menerjemahkan pengetahuan ini menjadi situasi wawancara dalam kedokteran gigi.

Rutter dkk menunjukkan pada tahun 1976 bahwa mahasiswa yang mendapatkan pelatihan praktis dalam hal keahlian pengambilan riwayat melaporkan hampir tiga kali tingkat relevansi dan keakuratan informasi dibanding yang hanya mendapatkan pelatihan tradisional. Menurut pendapat penulis, sebuah konsep kelompok kecil interaktif dengan permainan peran dan analisis video masih perlu diteliti secara cermat karena ini memerlukan tenaga manusia yang banyak dan hanya bisa dijustifikasi jika sebuah manfaat yang relevan dan terbukti dihasilkan. Kelihatannya bahwa bukti ini telah ditunjukkan dalam penelitian ini.

Sejauh mana efek ini bisa melindungi, harus dipertanyakan. Literatur menuntut agar pendidikan dalam wawancara medis diulangi dan sehingga peluang-peluang berbeda untuk mempraktekkan dan menerima umpan-balik harus ditawarkan. Disamping itu, sebuah pendekatan longitudinal yang terpadu terbukti lebih efektif dibanding kursus yang terpusat. Tahap ekspansi sekarang dari kurikulum kami telah mengandung komponen longitudinal, tetapi dalam fase pendahuluan ini terlalu singkat. Setelah konfirmasi yang sukses untuk efikasi pengajaran, pengembangan kurikulum lebih lanjut diarahkan terhadap keterlibatan kursus-kursus lebih lanjut untuk menjamin sukses pengajaran yang bisa dipertahankan. Meski demikian pertanyaan lain akan muncul seperti apakah membedakan pendekatan pendidikan menurut tingkat kinerja individual mahasiswa bisa mengoptimalkan manfaat personal dari peserta dan persyaratan sumber daya pengajaran.

Kesimpulan

Dalam penelitian skala kecil ini, telah ditunjukkan bahwa peningkatan keahlian komunikasi, sebagaimana diukur dengan menggunakan skala CCOG ditunjukkan dengan partisipasi dalam sebuah kursus keahlian komunikasi pendahuluan yang baru. Integrasi kurikulum dari program-program pelatihan komunikasi dengan demikian direkomendasikan. Sebuah pendekatan longitudinal yang multidisipliner kelihatannya merupakan sebuah alternatif dari bukti dalam literatur, untuk memastikan kelangsungan hasil pembelajaran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar